Ke Mana Kredit Bank Mengalir?

Ke Mana Kredit Bank Mengalir?

Oleh Paul Sutaryono 

Jakarta  – Pada 2018 Bank Indonesia (BI) menetapkan proyeksi pertumbuhan kredit 12%-14% lebih tinggi daripada proyeksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 11%-12%. Proyeksi itu menyiratkan optimisme tinggi bahwa ekonomi pada 2018 akan tumbuh lebih subur. Terlebih ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah pada 27 Juni 2018. Sarinya, akan lebih banyak uang beredar untuk merayakan pilkada.

Semua partai peserta akan mengeluarkan banyak dana untuk membuat bendera, umbul-umbul, baju-kaus, topi, dan lain-lain untuk memenangi pilkada. Aktivitas itu sedikit banyak akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan target 5,4% pada 2018.

Sebelumnya, mari kita cermati dulu kinerja bank sepanjang 2017? Kredit hanya tumbuh 8,30% dari Rp4.199,71 triliun per Desember 2016 menjadi Rp4,548,16 triliun per Desember 2017. Angka itu jauh di bawah target 11%-12% pada 2017. Sebaliknya dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 9,08% dari Rp4.630,36 triliun menjadi Rp5.050,99 triliun.

Pertumbuhan kredit dan DPK yang tak seimbang itu mendorong penipisan loan to deposit ratio (LDR) dari 90,70% menjadi 90,04% di tengah ambang batas 78%-92%. Artinya, bank belum dapat menunaikan fungsinya sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary) secara optimal. Dengan bahasa lebih bening, bank dituntut untuk mengucurkan kredit lebih deras lagi untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, di tengah perlambatan ekonomi, bank tetap dapat meningkatkan laba sebelum pajak 43,47% dari Rp136,05 triliun menjadi Rp195,19 triliun. Kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) mana yang paling banyak menggenjot laba sebelum pajak?

Ternyata BUKU 1 (dengan modal inti kurang dari Rp1 triliun) tidak mampu menaikkan laba sebelum pajak, melainkan turun 31,43% dari Rp1,44 triliun menjadi Rp986 miliar. Penurunan laba sebelum pajak yang cukup signifikan. Kondisi yang sama juga dialami oleh BUKU 2 (modal inti Rp1 triliun hingga kurang dari Rp5 triliun) dengan laba sebelum pajak turun 10,18% dari Rp13,71 triliun menjadi Rp12,32 triliun.

Berbeda dari BUKU 1 dan 2, BUKU 3 (modal inti di atas Rp5 triliun hingga kurang dari Rp30 triliun) dan BUKU 4 (modal inti di atas Rp30 triliun) tetap mampu mengerek laba sebelum pajak. BUKU 3 mampu menggenjot laba sebelum pajak 29,72% dari Rp33,07 triliun menjadi Rp42,90 triliun. Demikian pula BUKU 4 mampu menggeber laba sebelum pajak 24,10% dari Rp87,83 triliun menjadi Rp108,99 triliun. Data itu menunjukkan modal perkasa menjadi senjata ampuh dalam menghadapi persaingan yang kian sengit saat ini.

Hal itu mendorong kenaikan imbal hasil total aset (return on assets atau ROA) dari 2,23% menjadi 2,45%. Itu berarti kualitas aset (assets quality) perbankan dapat tumbuh di atas ambang batas 1,5%. Dengan bahasa lebih lugas, aset perbankan tetap mampu tumbuh meski dalam tekanan ekonomi.

Bahkan, secara keseluruhan bank tetap dapat meningkatkan modal. Hal itu tampak pada rasio kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio atau CAR) yang menebal dari 22,93% menjadi 23,18%. Itulah sekilas rapor bank pada 2017. 

Aneka Tantangan

Lagi-lagi, ke mana kredit bakal mengalir? Apa saja tantangan perbankan pada 2018? Pertama, tantangan utama adalah rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed Fund Rate atau FFR) 3-4 kali pada 2018 yang saat ini 1,25%-1,50%. Namun, hal itu amat tergantung pada pertumbuhan ekonomi AS.

Tentu saja, kenaikan FFR itu dapat memengaruhi suku bunga acuan  BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRRR). Kemungkinan besar BI 7 DRRR tak kuat lagi bertahan pada level 4,5% saat ini. Intinya, kenaikan itu menjadi ancaman kenaikan suku bunga kredit perbankan. 

Kedua, dapat dipastikan bank terutama bank papan atas akan terus membiayai proyek infrastruktur. Terlebih pemerintah menggeber pembangunan pelabuhan laut untuk mewujudkan “jalan tol laut” sebagai salah satu rantai poros maritim nasional.

Sayang, bank papan bawah belum dapat berperan aktif lantaran proyek infrastruktur menuntut pendanaan tinggi dan bertenor menengah-panjang sehingga potensi risikonya lebih tinggi. Namun, harap dicatat bahwa proyek infrastruktur juga menjanjikan pendapatan bunga (interest income) yang tinggi.

Sejatinya, pembiayaan proyek infrastruktur oleh bank dapat melahirkan ketidaksetaraan waktu (mismatch). Sebab, sebagian sumber dana bank berasal dari simpanan deposito yang bertenor pendek maksimal dua tahun untuk membiayai proyek infrastruktur yang bertenor lebih panjang. Sumber pembiayaan yang tepat justru dari pasar modal karena bertenor lebih panjang.

Oleh sebab itu, untuk menekan potensi risiko kredit, bank membiayai proyek infrastruktur dengan kredit sindikasi (syndicated loan). Kiat tersebut bertujuan untuk membagi potensi risiko (risk sharing). 

Ketiga, selain itu, bank dituntut untuk membiayai sektor-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja. Sebut saja sektor pertanian yang dapat menyerap 31,86%, sektor perdagangan 23,37%, dan sektor manufaktur 20,49%. Ketiga sektor itu sanggup menyerap 75,72% dari seluruh tenaga kerja pada 2017 (BPS).

Dengan demikian, bank proaktif memberikan andil penting dalam menambah kesempatan kerja sekaligus sebagai upaya untuk menekan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang sekarang mencapai 5,5% per September 2017. Coba bandingkan dengan TPT negara ASEAN lainnya, seperti Thailand 1%, Singapura 2,1%, Vietnam 2,2%, Malaysia 3,30%, dan Filipina 5%, 

Keempat, lebih dari itu bank pun akan memburu kredit konsumsi yang bersifat individual. Katakanlah kartu kredit, kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit tanpa agunan (KTA).

Namun, kartu kredit akan kurang bergairah. Mengapa? Karena, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, akhirnya mewajibkan bank untuk melaporkan transaksi kartu kredit. Pemegang kartu kredit akan berpikir panjang untuk memanfaatkan kartu kredit dengan jumlah besar. Sudah semestinya kewajiban itu perlu ditunda lagi sampai kondisi ekonomi lebih bersinar. Hal ini dapat memberikan napas panjang di tengah kondisi ekonomi yang sedang kurang darah ini. 

Kelima, di samping itu, dapat dipastikan bank akan tetap memburu kredit yang menghasilkan pendapatan nonbunga atau pendapatan komisi (fee based income). Hal itu bertujuan final untuk menyeimbangkan (net off) pendapatan bunga yang sedang tidak optimal karena kelesuan ekonomi saat ini.

Inilah transaksi yang sedang diburu, yakni pendapatan dari pengelolaan rekening tabungan dan giro (current account and saving account atau CASA), ATM, SMS banking, mobile banking, internet banking, cash management, wealth management, dan bancassurance. Ditambah lagi transaksi internasional, yakni ekspor, impor, bank garansi (trade finance), remitansi (remittances), dan transaksi treasury seperti pasar uang (money market) dan valuta asing (foreign exchange).

Transaksi internasional dan treasury tersebut akan menambah cadangan devisa mengingat kedua transaksi itu merupakan mesin penghasil valuta asing (valas). Selama ini transaksi itu memberikan kontribusi sekitar 20%-25% dari fee based income untuk bank papan atas. Sungguh, pendapatan yang gemerincing.

Amati pula, sekarang ini banyak bank mengejar pendapatan komisi, seperti BCA memasang target kenaikan 9% dari biaya administrasi bulanan dan transaksi melalui kanal elektronik. Pada 2017 pendapatan komisi Bank Mandiri tumbuh 16,4% menjadi Rp23,34 triliun, sedangkan BNI 13,9% menjadi Rp9,78 triliun dan BRI 13% menjadi Rp9,2 triliun pada periode yang sama.

Karena itu, pendapatan komisi akan menjadi salah satu sumber rezeki yang terus digali dalam menghimpun pendapatan pada tahun berjalan. Tidak aneh ketika kelak portofolio pendapatan komisi akan terus membengkak mendekati pendapatan bunga yang sedang menurun.

Sesungguhnya, langkah itu merupakan gejala yang kurang menggembirakan mengingat tidak mendorong kenaikan intermediasi keuangan yang menjadi fungsi utama perbankan. Bank dituntut untuk terus mendongkrak fungsi itu dengan menggandeng perusahaan teknologi finansial (tekfin). Kiat itu akan memampukan bank untuk membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sebagian besar belum dapat mengakses perbankan. 

Keenam, bank harus lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang kini sedang melandai. Sebut saja sektor pertambangan dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) 6,18% di tengah ambang batas 5%, sektor penyediaan akomodasi dan makan minum 4,33%, dan sektor perdagangan besar dan eceran 4,08%.

Begitu pula ke sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi 3,74%; sektor konstruksi 3,67%; dan sektor industri pengolahan 2,70%. Upaya injak rem itu bakal menekan NPL 2,59% per Desember 2017.

Dengan langkah demikian, bank dapat mengerek fungsi intermediasi keuangan dengan jempol tanpa melupakan prinsip kehati-hatian (prudential banking). Derasnya kucuran kredit itu bakal menyuburkan pertumbuhan ekonomi.(*)

Related Posts

News Update

Top News