Oleh : Eko B. Supriyanto
Jakarta – Tahun 2018 merupakan tahun penentuan bagi bank-bank, setelah tiga tahun sebelumnya melakukan restrukturisasi kredit. Kredit bermasalah yang menjadi beban berat perbankan telah direstrukturisasi. Ada juga yang dihapus buku. Ada debitur yang benar-benar tidak sanggup membayar kerena efek penurunan harga komoditas. Namun, tidak sedikit yang pura-pura tidak sanggup melunasi kewajibannya.
Kredit macet itu malapetaka, tapi kadang juga jadi berkah. Kredit macet menjadi malapetaka bila modal bank dan isi kantong pemegang saham tipis. Akibatnya, tidak sanggup menutup kerugian, tidak bisa hapus buku dan makan modal dengan non performing loan (NPL) tetap tinggi. Semua tahu bisnis bank adalah maraton dan bukan lari cepat.
Kredit macet akan jadi berkah bagi tim direksi baru dari bank yang pemilik modalnya kuat sehingga kredit macet itu akan menjadi durian runtuh pada masa yang akan datang. Itu bukan keinginan direksi. Itu rumus big bang dari penyelesaian kredit macet jika tetap ingin melihat bank berjalan mulus pada masa yang akan datang. Jalan tanpa beban masa lalu.
Namun, pada hakikatnya kredit macet itu sesuatu yang mengerikan bagi bankir. Apalagi banyak debitur yang sekarang bermain di pengadilan. Bahkan, ada kategori debitur yang “sengaja” dan dirancang sebelumnya, “main” di pengadilan untuk tidak membayar pinjamannya. Banyak kasus debitur yang tidak sanggup membayar masuk lewat jalur penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh kreditur “abal-abal” dan menjadi pailit.
Lebih ngeri lagi, ada debitur yang tidak membayar kewajibannya, setelah jaminannya dilelang, justru bankir yang melelang terkena jerat tersangka. Hakikat bank adalah lembaga kepercayaan dan tidaklah mungkin bank berbuat curang atau sengaja mencurangi debiturnya.
Lihat saja, hanya dengan selembar bilyet deposito nasabah percaya terhadap satu bank. Sekecil apa pun bank itu. Bisa dibayangkan bank mencurangi debiturnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Tidak membayar utang, ya jaminan dilelang. Masak tidak membayar utang, tapi justru bankirnya yang jadi tersangka. Beberapa bank sekarang mengalami masalah yang sangat pelik dan sering kali bank lelah dan kalah.
Lebih mengerikan lagi di bank pembangunan daerah (BPD), jika terjadi kredit macet, bankirnya dijadikan tersangka. Padahal, terang-terang debiturnya sontoloyo. Nah, karena setelah kejadian kredit macet—maka dengan mudah digunakan pasal karet—pasal ketidakhati-hatian sehingga menimbulkan kredit macet. Sepanjang tidak ada fraud—kredit macet adalah bagian dari risiko yang sudah dihitung sebelumnya.
Hal lain yang sekarang menjadi perbincangan ialah tren penyelesaian pinjaman dengan PKPU. Tiga tahun terakhir jumlahnya meningkat. Berdasarkan data Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, hingga 7 September 2017 telah masuk 101 permohonan PKPU dan 44 permohonan pailit.
Pada periode yang sama tahun lalu terdapat 63 permohonan PKPU (107 kasus hingga akhir tahun) dan 25 permohonan pailit (55 kasus hingga akhir tahun). Jumlahnya yang terus meningkat ini pun bisa diambil kesimpulan bahwa situasi ekonomi sedang sulit. Namun, beberapa hal yang perlu diperhatikan, debitur tidak membayar pinjaman bisa jadi karena menunggangi krisis. Ya seolah-olah karena krisis, maka menjadi macet, padahal karena modus hendak mengeruk duit bank.
Tidak semua demikian, tapi sejatinya PKPU sering kali dijadikan untuk tidak membayar pinjaman bank—apalagi yang mengajukan adalah kreditur abal-abal. Padahal, sebenarnya PKPU itu digunakan untuk menyelesaikan kewajiban menuju restrukturisasi. Namun, belakangan banyak yang main di pengadilan, apalagi banyaknya jasa yang menawarkan untuk tidak membayar pinjaman ke bank. Soal kepailitan juga menjadi cerita buruk. Kasus pailit PT Rockit Aldeway dinilai para bankir sebagai trik untuk tidak menyelesaikan pinjaman sehingga tujuh bank mengalami kerugian Rp836 miliar.
Menurut catatan Infobank, mekanisme PKPU yang diatur di undang-undang kepailitan (UUK) saat ini cenderung mendorong gagalnya restrukturisasi. Hal ini lebih penting karena minusnya integritas para pihak yang memungkinkan persekongkolan terlarang yang cenderung koruptif—yang merugikan kreditur, terutama kreditur bank.
Untuk itu, meski sebenarnya prinsip debt collection tidak perlu dibebankan ke PKPU, pengalaman menunjukkan sering kali PKPU disalahgunakan debitur. Untuk itu, dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 Tahun 2016, meski konsep PKPU makin bergeser jauh, itu masih lebih baik karena debitur apa-apa PKPU.
Kini untuk mengajukan PKPU secara sukarela, debitur harus melengkapinya dengan persetujuan kreditur. Sikap MA ini mungkin sebagai reaksi atas adanya laporan penyalahgunaan mekanisme PKPU dalam praktiknya yang cenderung merugikan kreditur. Namun, kenyataannya, sering kali debitur pun masih mengakali dengan memunculkan kreditur “abal-abal” yang membuat kaget kreditur, terutama bank.
Jujur saat sekarang ini banyak debitur yang sengaja memanfaatkan situasi kelesuan ekonomi. Debitur sontoloyo tentu tidak bisa dihindari. Namun, jika ada bank yang menjual agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet menjadi tersangka itu yang bisa membuat dunia berputar terbalik.
Ibarat kita kecopetan dompet di pasar, tapi yang kecopetan malah ditersangkakan, kenapa tidak hati-hati jaga dompetnya. Padahal, jelas-jelas bank yang “dikadali”. Edan!(*)
Penulis adalah pemimpin Redaksi Majalah Infobank.