Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
PERTARUNGAN soal sistem pembayaran digital sudah dimulai. Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) baru-baru ini memprotes kebijakan Indonesia terkait Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Mereka juga sewot dengan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Kedua sistem ini dianggap sebagai hambatan perdagangan, dan dirasa tidak adil bagi perusahaan AS, seperti Visa dan Mastercard.
Sebenarnya, di balik protes tersebut, tersembunyi pertarungan geopolitik dan ekonomi yang lebih besar. Ini bukan sekadar uang pergi ke luar. Tapi, ini menyangkut siapa yang mengendalikan arus uang, data, dan kedaulatan finansial suatu negara?
Menurut diskusi di Infobank Institute, ini menyangkut kedaulatan sebuah negara. Jika melihat data transaksi digital Indonesia, bahwa QRIS dan GPN bukanlah sekadar alternatif fasilitas pembayaran. Akan tetapi sudah menjadi solusi strategis yang lebih efisien, murah, dan berdaulat.

Baca juga: Siap-Siap! Warga RI ke Jepang Bisa Gunakan QRIS Mulai 17 Agustus 2025
Lantas, mengapa Indonesia tidak perlu bergantung lagi pada Visa dan Mastercard? Menurut catatan Infobank Institute, ada tiga alasan utama mengapa Indonesia harus berdiri di kaki sendiri. Satu, potensi hilangnya devisa. Selama ini sudah miliaran dolar tersedot ke luar negeri.
Sebelum ada GPN (2017) dan QRIS (2019), setiap transaksi kartu debit/kredit di Indonesia harus melewati jaringan Visa atau Mastercard. Tidak peduli, meski transaksi itu berupa pembelian nasi pecel di warung kecil dan dilakukan antar-rekening domestik. Jatah biaya transaksi 1 persen sampai 3 persen mengalir ke perusahaan AS.
Bayangkan kalau itu skalanya nasional, mulai dari pembelian nasi pecel sampai dengan handphone, termasuk pembelian barang-barang secara online. Dan, dalam skala nasional ada jutaan transaksi per harinya. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), duit yang lari ke luar negeri terkait transaksi lewat Visa dan Mastercard mencapai USD2 miliar-USD3 miliar atau setara dengan Rp35 triliun per tahun.
Dua, soal biaya. Biaya yang dikenakan Visa dan Mastercard lebih tinggi ketimbang GPN dan QRIS yang hanya mengenakan 0,3 persen – 0,7 persen, bahkan untuk UMKM gratis. Settlement GPN dan QRIS juga lebih cepat dan data diproses di dalam negeri – ini mengurangi kebocoran data dan pengawasan asing. Jujur saja, ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal data transaksi, seperti pola belanja, lokasi, dan preferensi konsumen dikirim ke luar negeri kalau pakai Visa atau Mastercard.
Jelas, ini mengancam kedaulatan negara. Apalagi, QRIS dinilai lebih demokratis, karena dapat dipakai oleh semua lapisan. Mulai dari pedagang kecil (seperti warung sembako,angkringan, termasuk tukang sayur) sampai pedagang besar. Bahkan, kegiatan amal, (seperti infak masjid dan kolekte gereja) bisa dilakukan dengan QRIS. Tanpa biaya tinggi, dan tak perlu fisik kartu pula.
Tiga, soal diplomasi ekonomi dan ancaman AS. Jelas, AS khawatir. Bukan sebatas protes terhadap QRIS dan GPN. Visa/Master akan kehilangan pasar strategis. Apalagi, ASEAN sedang membangun jaringan pembayaran regional. Bayangkan, transaksi QRIS di kuartal satu 2025 melonjak 169,1 persen (year on year). Sebaliknya, Visa/Master terjadi penurunan dominasi. Apalagi QRIS sudah terhubung dengan DuitNow (Malaysia), SGQR (Singapura), dan PromptPay (Thailand).
Jadi, kritik AS terhadap QRIS dan GPN merupakan bentuk economic coercion. Tuduhan tidak transparan terhadap BI adalah alasan klise yang dibuat-buat. Itu semua agar Visa/Master tetap berada di Indonesia dengan menikmati kue di dalam negeri. Sudah waktunya sistem pembayaran lewat GPN dan QRIS terus diperkuat dengan ekspansi QRIS lintas negara.
Baca juga: DPR Bela QRIS dari Sorotan AS: Jangan Korbankan Kedaulatan Ekonomi
Mari menjaga kedaulatan sistem pembayaran RI. Plus menjaga BI tetap independen, menjadi wasit yang tidak akan tergoda menjadi pemain. Bahkan, tetap independen dari rayuan pemerintah dari banyak hal, termasuk mengalah untuk urusan Visa/Master ini hanya karena ingin tarif perdagangan dengan AS lebih rendah.
Yuk! Kita bergandengan tangan menjaga kedaulatan sistem pembayaran. Pemerintah yang bernegosiasi dengan AS jangan menyerah soal ini. Nah, jika AS bisa melindungi kepentingan ekonominya dengan tarif resiprokal, kenapa kita tidak boleh mempertahankan kedaulatan pembayaran kita sendiri? Pemerintah jangan jadi “Ayam Sayur” untuk soal ini.
Artikel ini juga dimuat di Majalah Infobank Edisi Juni 2025. Jika ingin baca artikel lainnya secara lengkap bisa kunjungi laman Infobankstore atau hubungi costumer service (CS) Infobankstore 081250002552 (WhatsApp).









