Jakarta – Dalam beberapa hari terakhir pasar global sedang dirudung awan hitam. Hal tersebut bisa diliat dari mulai berjatuhannya beberapa pasar saham utama di dunia seperti di Amerika.
Berdasarkan pantauan Infobank, tadi malam Dow Jones Industrial Average (DJIA) kembali ditutup anjlok hingga 4,15%. Total, dalam seminggu, penurunan DJIA tercatat sudah mencapai 10%nan dari rekor tertingginya. Sementara S&P Index semalam melemah 3,75% dan Nasdaq 100 anjlok 4,20%.
Tidak hanya di Amerika, bursa negara-negara Eropa pun masih bergejolak. Contohnya saja bursa Ingris, FTSE-100 yang melemah hingga 1,49% semalam. Sedangkan bursa Jerman, DAX anjlok 2,62%.
Bursa Asia pun tidak luput terkena imbas. Tercatat posisi indeks NIKKEI saat ini terkoreksi hingga 2,81%, Hang Seng Index tertekan hingga 3,28% dan Straits Times Index melemah 1,48%. Disisi lain Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sesi I siang ini sudah anjlok 1,10%, ke level 6.472,50.
Baca juga: Ikuti Laju Bursa Global, IHSG Dibuka Naik
Mengutip Riset Samuel Sekuritas Indonesia, pelemahan pasar besar-besaran ini dilatarbelakangi oleh kenaikan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang meningkat ke level mendekati 3%, dipicu kekhawatiran The Fed akan terlambat menaikkan suku bunga ditengah perkiraan data inflasi yang akan mencetak angka lebih tinggi dari perkiraan.
Disisi lain harga minyak kembali tercatat melemah ke USD64,8/b setelah Iran mengumumkan akan menaikkan produksi dan produksi AS mencetak level tertinggi sepanjang sejarah yang berujung pada kekhawatiran kenaikan tajam di suplai minyak dunia.
Produksi AS tercatat sebesar 10,3 juta b/d atau telah melewati produksi Arab Saudi dan Rusia sebagai produsen minyak terbesar di dunia.
Pertanyaannya, sampai kapan hal ini akan terjadi? Mengingat kondisi bursa saham di Indonesia sebetulnya sedang bagus-bagusnya hingga berakhirnya tahun 2017.
Analis PT KGI Sekuritas Indonesia, Yuganur Wijanarko, mengungkapkan keadaan pasar saham regional dan global yang relatif bergejolak dan rupiah yang rentan melemah membuat IHSG berpotensi mengalami koreksi lanjutan
Pelaku pasar pun dihimbaunya perlu mewaspadai koreksi susulan dan melakukan short term trading dengan menerapkan stop-loss ketat. “Agar tidak terseret arus bawah,” kata Yuganur di Jakarta, Jumat, 9 Febuari 2018.
Sebelumnya Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio mengaku tak khawatir dengan merosotnya bursa saham Dunia, termasuk di Indonesia. Dia menganggap pelemahan IHSG hanya imbas persepsi sesaat dari pelaku pasar.
“Ini hanya persepsi saja, ketakutan sesaat,” tuturnya di Gedung BEI.
Tito meyakini, jatuhnya bursa saham dunia disebabkan munculnya persepsi pelaku pasar bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunga acuannya. Padahal sentimen itu masih berupa asumsi.
“Padahal Jerome Powell (Gubernur The Fed yang baru) itu dia seorang yang dovish atau menganut suku bunga rendah. Tapi ada kenaikan yield obligasi, lalu ketakutan naik inflasi di AS seiring dengan naiknya data tenaga kerja. Jadi ini hanya persepsi, ada ketakutan kenaikan suku bunga,” imbuhnya.
Meski begitu dia mengungkapkan bahwa IHSG mengalami pertumbuhan dari awal tahun hingga 30 Januari 2018 sebesar 3,46%. Dari data itu IHSG merupakan indeks saham dengan pertumbuhan tertinggi ke 10 di dunia.
Sementara jika dilihat dari awal tahun hingga 5 Februari 2018, IHSG telah naik 1,12%. Kenaikan IHSG menjadi yang terbesar ketiga, dimana posisi pertama dipimpin indeks saham Shanghai yang tumbuh 3,15% dan kedua indeks saham Hong Kong 2,46%. (*)