Jakarta – Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Saat penutupan perdagangan Jumat (28/3/2025), rupiah melemah 14 poin atau 0,08 persen menjadi Rp16.676 per dolar AS. Ini merupakan level terendah sejak krisis moneter (krismon) 1998.
“Di tahun 1998, ketika rupiah berada di posisi Rp16.650 per dolar AS, total utang luar negeri kita hanya 70 miliar dolar AS, setara Rp1.165 triliun. Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri kita sudah tembus 500 miliar dolar AS, yaitu sekitar Rp8.325 triliun. Naik tujuh kali lipat,” ujar Hardjuno Wiwoh, Pengamat Hukum dan Pembangunan dalam keterangan resminya dikutip 29 Maret 2025.
Menurut Hadjuno, fakta tersebut menunjukkan bahwa rupiah saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia secara jujur. Ini artinya nilai tukar sekarang belum mempresentasikan tekanan riil terhadap rupiah.
“Bahkan mungkin masih terlalu kuat dibandingkan kenyataan,” tambahnya.
Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia per Januari 2025 Naik Lagi, Tembus USD427,5 Miliar
Hardjuno juga menyinggung holding strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru dibentuk, yakni Daya Anagata Nusantara (Danantara) dengan aset hingga Rp10.000 triliun. Meski angka asetnya terkesan besar, nilainya tidak begitu mencolok jika dibandingkan dengan total utang luar negeri Indonesia saat ini.
“Aset terbaik kita seperti Danantara saja belum tentu cukup untuk membayar seluruh utang luar negeri yang sudah mencapai Rp8.325 triliun. Ini mengkhawatirkan. Kalau aset andalan negara tidak bisa menutup utang, artinya kita harus hati-hati banget,” ujarnya.
Lebih jauh Hardjuno mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini terkesan membiarkan utang menumpuk tanpa ada strategi pelunasan yang jelas. Akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan juga selalu jadi pertanyaan besar, karena mewariskan beban sama dari tahun ke tahun.
“Kalau kita tidak bisa bayar, artinya memang tidak mampu. Maka harus ada jalan keluar. Ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang,” tegasnya.
“Kalau semua menteri berganti, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Masalah utang ini sudah jelas-jelas bermula dari obligasi rekap BLBI yang terus diabaikan,” tambahnya.
Meski demikian, Hardjuno mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara. Keberanian Prabowo ini sesuatu yang belum pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya.
Baca juga: Analis Sebut Rupiah Berpeluang Menguat Terbatas Atas Dolar AS, Ini Sebabnya
Meski demikian, kata Hardjuno, kebijakan pemangkasan anggaran ini belum cukup efektif tanpa dibarengi dengan langkah lanjutan.
“Ya, itu langkah bagus. Tapi setelah itu bagaimana? Harus ada rencana besar yang konkret dan berani. Bukan sekadar reaksi jangka pendek. Kita harus mulai bicara jujur dan transparan. Ini soal masa depan negara. Harus ada solusi yang menyeluruh dan realistis,” tutupnya. (*)