Jakarta – Gildas Deograt, Pendiri dan Koordinator Forum Keamanan Siber dan Informasi, mengungkapkan bahwa kondisi keamanan siber di Indonesia saat ini sangat terbuka dan rentan terhadap ancaman.
Menurutnya, situasi ini bisa diibaratkan seperti berada di dalam “bola kristal” yang transparan, sehingga memudahkan pelaku kejahatan siber untuk mengamati serta mengeksploitasi celah-celah keamanan yang ada.
Selain itu, saat ini implementasi keamanan siber di Indonesia sudah mengarah ke model yang lebih besar, namun sayangnya masih memiliki kekuatan yang rapuh. Hal ini menunjukkan bahwa meski struktur keamanan yang ada sudah cukup besar, namun daya tahannya masih sangat lemah terhadap ancaman yang terus berkembang.
“Sekitar 95 persen lebih dari implementasi keamanan siber di Indonesia sudah mengadopsi model rantai besar, namun kekuatannya masih seperti tali plastik,” kata Gildas, dalam Indonesia Knowledge Forum (IKF) XIII 2024 yang diselenggarakan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), di The Ritz-Carlton Hotel, Pasific Place, Jakarta, Selasa, 12 November 2024.
Baca juga: Era Digitalisasi, Perusahaan Diimbau Pahami Manajemen Risiko Keamanan Data
Ia menambahkan, sebuah survei menunjukkan perilaku pengguna internet yang sangat berisiko. Dimana, sebanyak 99 persen warganet di Indonesia, kerap memilih untuk melanjutkan tindakan meski ada peringatan keamanan atau security warning sebelumnya.
Dan hal yang sama juga dilakukan oleh sebanyak 95 persen tim cybersecurity. Itu artinya, kebiasaan buruk ini tidak hanya terjadi di kalangan pengguna biasa, tapi juga di kalangan profesional di bidang keamanan siber.
“Itu terjadi karena dalam banyak produk cybersecurity, rekomendasi untuk melanjutkan tindakan biasanya tercantum dalam panduan administrator sistem,” tambahnya.
Menurut Gildas, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi ancaman dunia maya adalah revolusi pola pikir terkait keamanan siber atau cybersecurity mindset revolution. Ia mengungkapkan, sebanyak 80 persen masalah keamanan siber adalah masalah manusia.
Ia juga menekankan pentingnya perubahan pola pikir di kalangan para profesional TI dan cybersecurity agar strategi keamanan yang diterapkan bisa lebih efektif.
“Revolusi dulu pola pikirnya. selama masih menggunakan pola pikir 20 tahun atau 30 tahun lalu, sudah pasti akan bermasalah. Mengubah mindset ini adalah hal yang sangat sulit, tetapi harus dilakukan agar kita bisa mengurangi dampak ancaman yang terus berkembang. Selain itu, orang hanya bicara soal people, process, technology, tetapi aspek physical security diabaikan. Padahal aspek ini penting,” ujarnya.
Baca juga: OJK Sebut 4 Elemen Ini Jadi Kunci Regulasi Keamanan Siber
Dengan semakin canggihnya teknologi yang digunakan oleh pihak-pihak pelaku kejahatan siber, Gildas menegaskan bahwa Indonesia perlu segera melakukan perubahan besar dalam hal kebijakan, kesadaran masyarakat, serta penguatan infrastruktur keamanan siber untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks di dunia maya.
“Penjahat dunia maya kini memanfaatkan revolusi teknologi dengan sangat efektif, menjadikan ancaman terhadap sistem keamanan siber semakin eksponensial dan sulit ditangkal,” tutupnya. (*) Ayu Utami