Wamenkeu: IAI Harus Kedepankan Sustainable Financing di Indonesia

Wamenkeu: IAI Harus Kedepankan Sustainable Financing di Indonesia

Jakarta – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) RI, Prof. Suahasil Nazara meminta Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terus mendukung upaya sustainable financing yang memerlukan transparansi dan akuntabilitas. Kondisi ini dapat dipenuhi melalui adopsi konsep sustainability dalam pelaporan keuangan melalui pembentukan Task Force Comprehensive Corporate Reporting (TF CCR).

Wamenkeu menekankan kembali beberapa peran aktif yang bisa dijalankan profesi akuntan dalam pembangunan berkelanjutan. Salah satu bagian pentingnya adalah membantu membangun perekonomian bangsa dengan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya antara lain melalui penyusunan standar akuntansi keuangan dan tersedianya akuntan profesional sebagai penjaga integritas dan transparansi pelaporan keuangan entitas ekonomi.

Wamenkeu menilai, ke depan IAI akan menghadapi tantangan yang cukup berat dalam mempertahankan kompetensi akuntan dan penegakan etika profesi seiring dengan era digital dan perkembangan teknologi informasi. Untuk itu, IAI harus memperkuat diri agar mampu berperan sebagai organisasi profesi yang mampu mewadahi akuntan yang kompeten dan profesional.

“HUT ke-64 IAI sebagai momentum untuk mengembangkan pengetahuan dan inovasi baru dalam mengoptimalkan peran akuntan profesional dan bagaimana mereka berkontribusi secara nyata terhadap pemulihan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan,” ujar Suahasil bergabung secara virtual pada peringatan HUT IAI ke-64, 8 Desember 2021.

Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat IAI, Prof. Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, hal itu tidak bisa dipisahkan dari konsep Sustainable Development Goals atau SDGs. Konsep itu mulai diperkenalkan ke seluruh dunia setelah 193 negara Anggota PBB menyepakati sebuah agenda global yang disusun dibawah resolusi PBB yang berjudul “Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development Goals.”

Agenda ini adalah seruan aksi universal untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet bumi, dan memungkinkan semua orang dapat merasakan perdamaian dan kemakmuran pada tahun 2030. Agenda ini memiliki 17 tujuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan. Agenda atau tindakan di satu bidang akan memengaruhi hasil di bidang lain dan pembangunan harus dilaksanakan dengan menyeimbangkan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Menurutnya, saat ini semua negara telah mencapai tahap di mana mereka harus menilai kembali jalan mereka untuk mencapai tujuan SDGs. Target SDGs di Indonesia menunjukkan beberapa hasil positif, terutama terkait dengan aspek sosial dalam hal pengurangan kemiskinan. “Namun, Pandemi Covid 19 yang telah memberikan dampak serius pada ekonomi global membuat kita perlu menggunakan strategi baru dan sumber daya tambahan untuk memastikan bahwa kita dapat pulih bersama menuju masa depan yang lebih baik,” jelas mantan Ketua BPK RI itu.

Ia menambahkan, dalam Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022, untuk topik SDGs, Pemerintah Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk melakukan upaya bersama dalam memastikan pencapaian SDGs sesuai dengan target sembilan tahun dari sekarang. Salah satu strategi utamanya adalah memperkuat kemitraan global untuk membantu pembiayaan dan akses teknologi bagi negara berkembang.

Kesenjangan pembiayaan atau financial gap dalam upaya pencapaian target SDGs semakin melebar dari USS2,5 triliun per tahun menjadi USD4,2 triliun, karena pandemi membawa ketidakpastian dan semakin membebani pertumbuhan ekonomi. Dengan sumber daya dan anggaran negara yang terbatas untuk membiayai program SDGs, Pemerintah Indonesia telah memulai mobilisasi pembiayaan inovatif untuk menutup kesenjangan pendanaan SDGs. Skema keuangan campuran perlu dibuat untuk mendorong peningkatan berkelanjutan dalam investasi swasta untuk menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali perekonomian.

Hampir semua Kerangka Standar Sustainability Reporting yang dikenal di seluruh dunia telah menyelaraskan kerangka kerja termutakhir mereka dengan SDGs. Terintegrasinya pelaporan keuangan dengan faktor-faktor lingkungan yang mendukung keberlanjutan bisnis yang diantaranya terkait dengan environment, social and governance menuntut para akuntan profesional Indonesia untuk terus mengembangkan pengetahuan, tidak hanya keuangan tetapi juga non-keuangan.

Menurut Prof. Moermahadi, pelaporan yang diperluas ini memerlukan keahlian tambahan bagi para akuntan karena akan dipakai untuk pengambilan keputusan oleh investor dan pengguna lain. Kinerja akuntan profesional Indonesia akan diuji dalam keberhasilannya mengembangkan standar dan memberikan jaminan bahwa sustainability reporting merupakan produk laporan yang andal, transparan, dan bermanfaat bagi seluruh stakeholders.

Dirinya juga mendorong adanya diskusi dan sharing yang konstruktif di antara para Akuntan Profesional Indonesia dengan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas tentang perlunya jaminan dalam transisi dari pembiayaan berkelanjutan ke tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. “Saya juga mendorong para peserta untuk membangun kerangka awal untuk mendorong penyelarasan SDGs ke dalam Sustainable Reporting di Indonesia,” pungkasnya.

Di hadapan lebih dari 400 peserta webinar HUT IAI, Wakil Menteri Keuangan menyampaikan optimismenya bahwa kasus Covid-19 Indonesia terus terkendali, namun tetap harus waspada menjelang Hari Natal dan Tahun Baru. Beberapa tantangan yang harus diantisipasi adalah tren pertumbuhan ekonomi yang melambat di kuartal ketiga di berbagai negara, sementara di sisi lain inflasi cenderung meningkat.

“Laju pertumbuhan ekonomi melambat di berbagai negara pada kuartal ketiga, antara lain didorong oleh high base di kuartal kedua, outbreak varian Delta, serta dampak disrupsi supply chain,” jelas Wamenkeu. “Inflasi dalam tren naik di berbagai negara karena faktor gap supply demand serta disrupsi supply yang persisten. Turki dan Argentina mencatat inflasi yang sangat tinggi, diikuti oleh depresiasi yang sangat tajam,” ia menambahkan.

Optimisme Wamenkeu didasari oleh posisi fiskal Indonesia yang tercatat sebagai salah satu yang paling sehat di antara negara emerging market dan G20. Menurut Wamenkeu, dukungan fiskal negara-negara emerging market di tahun 2021 masih cukup akomodatif. Sementara defisit fiskal Indonesia terhitung moderat dibanding negara lain. “Tingkat utang Indonesia menjadi salah satu yang paling rendah di antara emerging market dan rata-rata G20,” ujar Wamenkeu.

Pada triwulan ketiga tahun 2021, kinerja perekonomian nasional mampu tumbuh positif sebesar 3,51%. Penerapan PPKM di awal triwulan ketiga berdampak pada perlambatan konsumsi masyarakat serta tertahannya aktivitas investasi sector swasta. Meskipun demikian, momentum pemulihan masih relatif terjaga ditopang oleh pertumbuhan positif semua komponen pengeluaran, khususnya ekspor yang tumbuh lebih tinggi. (*)

Related Posts

News Update

Top News