Jakarta – Pemerintah secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) menjadi Undang-Undang.
Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripuna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masa persidangan 2022-2023, yang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, Kamis (15/12/2022).
“Kami meyakini bahwa ikhtiar kita akan membawa RUU P2SK mencapai tujuannya untuk mereformasi sektor keuangan Indonesia demi masa depan bangsa yang lebih sejahtera,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, yang turut hadir dalam proses pengesahan tersebut.
Menurut Sri, upaya reformasi sektor keuangan Indonesia merupakan prasyarat utama dalam membangun perekonomian nasional yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan.
Sri menjelaskan, sebelumnya ada 17 undang-undang di sektor keuangan yang telah cukup lama berlaku, dan bahkan ada yang telah melebihi 30 tahun. Karenanya, langkah penyesuaian wajib dilakukan demi mengikuti dinamika perkembangan yang terjadi di masyarakat, baik secara nasional maupun internasional.
“Inilah yang menjadi salah satu dasar disusunnya RUU P2SK, bahwa pemerintah sependapat dengan DPR bahwa hadirnya RUU P2SK bakal memperkuat kewenangan dan tata kelola kelembagaan di sektor keuangan,” tutur Sri.
Tujuan, tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI), misalnya, dipertegas dengan mencakup tujuan turut memelihara stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga independensi.
Tak hanya BI, tujuan, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga ditambah dengan mandat menjamin polis asuransi yang dikelola oleh perusahaan asuransi.
Dengan adanya tambahan tugas tersebut, maka kini Anggota Dewan Komisioner LPS ditambah menjadi tujuh orang, yaitu satu pejabat setingkat Eselon I yang ditunjuk oleh Menkeu, satu orang anggota DK OJK yang ditunjuk Ketua DK OJK, satu orang anggota Dewan Gubernur BI yang ditunjuk oleh Gubernur BI, dan empat orang anggota yang berasal dari dalam/atau dari luar LPS.
Anggota DK LPS yang dimaksud tersebut meliputi Ketua DK merangkap anggota, anggota DK yang membidangi program penjaminan dan resolusi bank, dan anggota DK yang membidangi program penjaminan polis.
Secara keseluruhan, UU P2SK memuat 341 pasal, yang merupakan omnibus law keuangan ketiga yang telah diinisiasi dan disusun oleh pemerintah. Dari seluruh pasal tersebut, setidaknya ada delapan poin penting yang menjadi ‘wajah baru’ bagi industri keuangan nasional ke depan.
Rupiah Digital
Salah satu pembaruan penting tersebut, diantaranya, adalah terkait pengaturan rupiah digital, yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223).
BI menjadi satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan penuh dalam melakukan pengelolaan rupiah digital. Selanjutnya, dalam perencanaannya, BI akan melakukan koordinasi dengan pemerintah.
Pengelolaan rupiah digital harus memerhatikan aspek penyediaan sebagai alat pembayaran yang sah, hingga pemanfaatan teknologi digital yang dapat menjamin keamanan sistem data dan informasi serta pelindungan data pribadi.
Kegiatan Usaha Bullion
Pada Bab XI Pasal 130 dinyatakan bahwa kegiatan usaha bullion (bullion) merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK).
Selanjutnya, ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha bulion paling sedikit memuat pentahapan pelaksanaan kegiatan usaha bulion, tata kelola, manajemen risiko, prinsip kehati-hatian, hingga sanksi administratif.
Penambahan DK OJK
Pada Pasal 10 UU P2SK disebutkan bahwa Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beranggotakan 11 orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dimana terdapat pemisahan dan penambahan susunan di dalamnya.
Formasi DK OJK sesuai dijelaskan tersebut meliputi Ketua merangkap anggota, Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota, dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon merangkap anggota.
Selain itu, ada Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap anggota, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota.
Lalu, ada pula Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen merangkap anggota, serta Ketua Dewan Audit merangkap anggota.
Susunan tersebut juga meliputi anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia serta anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
Aset Kripto
Di dalam UU PPSK, keberadaan aset kripto yang selama ini masih cenderung ‘abu-abu’ dimasukkan dalam ruang lingkup Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), yang diatur dalam Pasal 213.
Sri Mulyani mengakui bahwa pengawasan aset kripto dan juga aset-aset keuangan digital lainnya telah berpindah tangan dari semula di bawah naungan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan kini diserahkan ke OJK.
Pemindahan pengawasan tersebut dilakukan untuk memperkuat pengaturan dan pengawasan di sektor tersebut, terutama dalam aspek pelindungan investor atau konsumen.
“Pemerintah sependapat dengan pandangan DPR bahwa diperlukan waktu transisi antara OJK dan Bapebbti dengan baik dan optimal tanpa mengganggu perkembangan transaksi aset kripto yang sedang berjalan,” tutur Sri.
Polis Asuransi
Sebagai lembaga penjaminan, keberadaan LPS oleh UU P2SK diperluas cakupan kewenangan dan tanggung jawabnya, dengan kini juga menjamin polis asuransi.
Dalam tugasnya yang baru ini, LPS bertugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan program penjaminan polis serta melaksanakan program penjaminan polis.
Dalam Pasal 53, perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Penyelenggaraan program penjaminan polis tersebut mulai berlaku lima tahun terhitung sejak UU P2SK ini diundangkan.
Independensi BI
Dalam UU P2SK, tepatnya pada Pasal 40, calon anggota Dewan Gubernur BI diwajibkan bahwa pada saat pencalonan bukan pengurus dan/atau anggota partai politik.
Tak hanya itu, pemerintah juga mempertegas tujuan, tugas, dan wewenang BI, yaitu turut memelihara stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga independensinya.
BPR
UU P2SK juga mengubah nama Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat fungsi BPR, dengan memperluas cakupan bidang usahanya, dengan tidak lagi semata-mata pada bisnis perkreditan saja.
Dalam UU P2SK, ranah kerja BPR juga diperluas ke arah penukaran valuta asing dan transfer dana. Hal itu diatur dalam Pasal 315, yang mengatur secara tegas perubahan nomenklatur dari ‘perkreditan’ menjadi ‘perekonomian’ dalam kepanjangan nama BPR.
Dengan cakupan wilayah usaha yang semakin luas, keberadaan BPR di lapangan diharapkan dapat semakin lincah dan leluasa dalam menopang bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada di masyarakat, sebagai penopang utama perekonomian Indonesia.
Tak hanya itu, upaya penguatan BPR juga dilakukan dengan penguatan permodalan, peningkatan efisiensi dan profitabilitas, serta memperkuat penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dengan membuka kemungkinan BPR masuk ke pasar modal.
Pungutan OJK
UU PPSK juga mengubah ketentuan Pasal 37 UU OJK menjadi pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan. Pihak yang dimaksud tersebut adalah LJK dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Nantinya, hasil pungutan dapat digunakan sebagian atau seluruhnya secara langsung oleh OJK untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan. Namun, bila ada hasil pungutan yang tidak digunakan OJK sampai dengan akhir tahun anggaran, maka dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya.
Penggunaan hasil pungutan berdasarkan UU mengenai OJK tetap dapat dilakukan sampai dengan akhir tahun 2024. Pungutan yang dilakukan oleh OJK sebelum berlakunya UU ini, tetap berlaku sampai dengan akhir 2024 dan mulai berlaku pada 2025. (*) TAF