Pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi pada 2015 dari 5,7% menjadi 5,4%. Bagaimana upaya menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini? Paul Sutaryono
Jakarta–Ekonomi Indonesia kurang berotot. Itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2015 yang melambat, bahkan terendah sejak 2009. Padahal, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,7% pada 2015.
Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), seperti Vietnam yang sebesar 6,03%, Malaysia 5,60%, Filipina 5,20%, Thailand 3,00%, dan Singapura 2,60%. Sementara, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) 2,70%, India 7,50%, Jerman 1,10%, Prancis 0,70%, dan Jepang justru kontraksi alias minus 1,40%. Negara BRICS: Brasil dan Rusia kontraksi masing-masing 1,60% dan 1,90%, Tiongkok 7%, dan Afrika Selatan 2,10%.
Akhirnya, pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi pada 2015 dari 5,7% menjadi 5,4%. Bank Indonesia (BI) pun merevisi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari kisaran 5,4%-5,8% menjadi 5,0%-5,4%. Lantas, bagaimana upaya menyuburkan pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2015?
Satu, menipiskan suku bunga acuan. Adalah penting dan mendesak untuk menurunkan suku bunga acuan yang kini masih bertengger di angka 7,5%, menipis dari 7,75% pada 18 Februari 2015. Penipisan BI Rate itu lantaran pemerintah melakukan intervensi verbal.
Namun, BI belum berani menurunkan BI Rate karena The Fed akan menaikkan suku bunga acuan yang kini mencapai 0,25% dan diprediksi naik menjadi 1%-2%. Kenaikan itu dapat mendorong makin derasnya dana keluar (outflow capital) dari pasar keuangan. BI mestinya tak perlu terlalu takut karena The Fed Rate diperkirakan baru akan naik paling cepat pada triwulan ketiga 2015.
Lebih dari itu, BI Rate 7,5% masih jauh lebih tinggi daripada suku bunga acuan Vietnam yang sebesar 6,50%, Afrika Selatan 5,75%, Kazakstan 5,50%, Filipina 4%, Malaysia 3,25%, Meksiko 3%, dan Singapura 0,22%. Dengan bahasa lebih bening, Indonesia masih menjadi negara investasi yang menjanjikan manisnya madu investasi global.
Apalagi, Standard & Poor’s (S&P) mengerek prospek peringkat utang Indonesia menjadi positif dari sebelumnya stabil. Alhasil, Indonesia diharapkan menjadi negara layak investasi (invesment grade) pada 2016.
Pemangkasan BI Rate dari 7,5% akan menekan biaya dana (cost of fund) sehingga suku bunga deposito akan ikut menipis, meski pelan tapi pasti. Pada gilirannya, suku bunga kredit akan makin terjangkau oleh sektor riil sehingga bisnis bakal makin bergairah. Kondisi inilah yang akan memacu pertumbuhan ekonomi lebih subur.
Sayangnya, momen pada April-Mei 2015 itu tidak dimanfaatkan secara optimal, padahal inflasi 6,79%. Kini momen untuk menurunkan BI Rate itu lenyap sudah ketika inflasi naik menjadi 7,15% per Mei 2015. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah masih loyo pada level Rp13.000 per US$1.
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More