Categories: Analisis

Upaya Menyuburkan Pertumbuhan Ekonomi

Terlebih, pada Ramadan dan Lebaran (Juni dan Juli 2015) konsumsi masyarakat akan naik tajam. Kondisi itu akan mengangkat inflasi lebih tinggi. Karena itu, momen penipisan BI Rate tinggal mimpi. Sebaliknya, BI Rate malah bisa naik minimal 25 basis point (bps) pada triwulan ketiga 2015. Maka, perlu menggali upaya lain.

Dua, melonggarkan likuiditas. Lantaran pertumbuhan kredit tidak mencapai 15%-17%, BI melonggarkan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dari 70% menjadi 80% efektif Juni 2015.

Sejauh mana pengucuran kredit properti? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang terbit pada Mei 2015 menunjukkan, KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) hanya tumbuh 12,51%, dari Rp284,78 triliun per Maret 2014 menjadi Rp320,41 triliun per Maret 2015.

Pertumbuhan itu jauh melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 23,07%, dari Rp231,39 triliun per Maret 2013 menjadi Rp284,78 triliun per Maret 2014. Itu berarti, perlambatan pertumbuhan hampir mencapai 50%.

Relaksasi melalui pelonggaran LTV itu diharapkan dapat mendorong geliat KPR dan KPA. Geliat properti di sektor KPR dan KPA amat diharapkan juga sanggup mendorong bisnis pendukungnya seperti bisnis besi, beton, dan semen. Artinya, ketika gerbong properti mulai bergerak lebih kencang, maka gerbong bisnis lainnya juga ikut bergerak lebih kencang. Gerbong aneka bisnis yang makin melaju itu tentu saja akan menyerap tenaga kerja cukup banyak. Dengan bahasa lebih lugas, pembangunan rumah yang makin marak akan mampu menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 7,4 juta atau 5,81% per Februari 2015.

Tiga, memberikan insentif kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemerintah memberikan aba-aba supaya bank nasional mau menurunkan suku bunga kredit UMKM menjadi 12%. Ini menjadi tantangan sejati bagi bank nasional. Sebaliknya, ini merupakan insentif bagi pelaku UMKM yang bertujuan final supaya UMKM dapat berkembang pesat dan berbasis ekspor.

Dengan demikian, transaksi ekspor bakal kian kencang untuk mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) hingga di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB). Sebaliknya, tentu saja, pemerintah wajib menggali aneka sumber daya substitusi barang-barang impor selama ini.

Di sisi moneter, BI akan memberikan insentif berupa pelonggaran batas atas loan to deposit ratio (LDR) terkait dengan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Dengan Peraturan BI (PBI) Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), BI menetapkan batas bawah LDR 78% dan batas atas LDR 92%.

Nah, guna mengerek pertumbuhan kredit yang masih rendah, BI akan melonggarkan batas atas LDR dari 92% menjadi 94%. Insentif itu diberikan dengan syarat bank nasional telah memenuhi kewajiban pengucuran kredit ke UMKM minimal 5% dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) di bawah 5% pada akhir 2015.

Dalam PBI Nomor 14/22/PBI/2012, BI mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan investasi) secara bertahap mulai 2013 hingga 2018. Pada 2015 bank nasional wajib menyalurkan kredit minimal 5% ke UMKM.

Target kredit minimal 5% ke UMKM masih ringan. Namun, ketika kredit minimal 20%, beban bank nasional papan atas akan kian berat. Mengapa? Itu karena mereka lebih suka memburu kredit korporasi daripada UMKM.

Hal yang tak kalah penting adalah bank nasional wajib lebih berhati-hati dalam mengucurkan kredit UMKM. Pasalnya, rasio kredit bermasalah UMKM naik dari Rp22,64 triliun (3,66%) per Maret 2014 menjadi Rp28,75 triliun (4,20%) per Maret 2015, telah mendekati ambang batas 5%. Hendaknya bank nasional dan perusahaan pembiayaan juga berhati-hati dalam menggarap KPR, KPA, dan KKB, sekalipun gemerincing.

Empat, senantiasa memperbaiki iklim investasi. Upaya ini sebagai syarat untuk mengerek investasi. Investasi yang makin marak bermanfaat untuk memperkuat otot rupiah. Kok bisa? Karena, kian banyak investasi, kian deras dolar AS membanjiri pasar keuangan nasional. Selain itu, cadangan devisa yang kini mencapai US$110,77 miliar per Mei 2015 bakal ikut melesat.

Page: 1 2 3

Apriyani

Recent Posts

Apindo Tolak Kenaikan PPN 12 Persen: Ancam Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More

4 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Ditutup Menghijau ke Level 7.195

Jakarta - Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Jumat, 22 November 2024, ditutup… Read More

5 hours ago

BI Laporkan Uang Beredar Oktober 2024 Melambat jadi Rp9.078,6 Triliun

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat uang beredar (M2) tetap tumbuh. Posisi M2 pada Oktober 2024 tercatat… Read More

5 hours ago

IIF Raih Peringkat Gold Rank pada Ajang Penghargaan ASRRAT

Jakarta - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) kembali meraih peringkat "Gold Rank" dalam ajang Asia… Read More

5 hours ago

Hyundai New Tucson Mengaspal di RI, Intip Spesifikasi dan Harganya

Jakarta – Menjelang akhir 2024, PT Hyundai Motors Indonesia resmi merilis new Tucson di Indonesia. Sport Utility Vehicle (SUV)… Read More

5 hours ago

Bahana TCW Apresiasi Langkah BI Jaga Stabilitas Rupiah Pasca Kemenangan Trump

Jakarta - Donald Trump telah kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Pemilu yang… Read More

6 hours ago