Oleh Babay Parid Wazdi
SELAMA ini, tantangan klasik pelaku UMKM untuk naik kelas salah satunya adalah minimnya kemampuan UMKM untuk ikut terlibat dalam rantai pasok industri. Sehingga, yang dihasilkan adalah UMKM dengan skala bisnis yang stagnan serta terjebak dalam siklus bisnis yang monoton. Karena hal tersebut, target pasar UMKM pun sempit, kemampuan dalam men-generate keuntungan terbatas, akses modal tidak berkembang, pengembangan SDM-nya juga mati suri, yang akhirnya terjebak dalam skala bisnis yang sama.
Namun, lain halnya jika UMKM menjadi bagian dari rantai pasok perusahaan skala besar. UMKM tersebut nantinya akan terbawa arus perubahan perusahaan. Seperti peningkatan jumlah transaksi barang dan jasa, digitalisasi seluruh layanan perusahaan dan pelaku UMKM, inovasi perusahaan yang turut menyeret pelaku UMKM berinovasi, akses permodalan yang luas, hingga memiliki reputasi yang bergengsi karena pelaku UMKM menjadi bagian dari industri besar.
Intinya adalah pelaku UMKM yang diupayakan naik skala bisnisnya ini harus berada dalam lingkungan atau ekosistem yang memberikan ruang gerak bagi UMKM untuk naik kelas. Tak ubahnya manusia, di mana lingkungannya akan menjadi faktor pendorong bagaimana jati dirinya akan terbentuk nantinya. Jadi, untuk naik kelas, upaya utama yang bisa dilakukan adalah mendorong pelaku UMKM berada dalam lingkungan bisnis dengan skala ekonomi yang lebih besar.
Namun, untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, kita perlu menelisik terlebih dahulu apa yang menjadi skala prioritas masing-masing pihak untuk merealisasikannya. Pihak-pihak yang dimaksud adalah perusahaan, pelaku UMKM, dan pemerintah. Berikut sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan oleh masing-masing pihak agar cita-cita luhur meningkatkan skala ekonomi pelaku UMKM bisa diwujudkan.
Baca juga: Pengembangan UMKM Berbasis Risiko Pasar
Dari sisi perusahaan. Memang tidak mudah memetakan rantai pasok perusahaan, terlebih perusahaan yang sudah beroperasi dan semua rantai pasok sudah tersedia dengan baik. Namun, upaya membuka diri perusahaan terhadap rantai pasok dari pelaku UMKM tetap harus dilakukan.
Pertama, telusuri rantai pasok barang dan jasa yang mendukung aktivitas perusahaan. Lakukan kajian mengenai rantai pasok yang memungkinkan pelaku UMKM terlibat di dalamnya. Umumnya, dalam tahapan ini, perusahaan juga akan berada pada suatu pertimbangan apa benefit atau keuntungan yang didapatkan saat rantai pasok itu nantinya diberikan kepada pelaku UMKM. Dan, dalam konteks ini, terlebih dahulu perusahaan memberikan tawaran atau lelang kepada pelaku UMKM untuk pengadaan barang dan jasa tertentu.
Perusahaan juga harus mendapatkan penawaran balik yang diajukan oleh para pelaku UMKM. Di level ini, perusahaan akan melakukan seleksi, mana rantai pasok dari pelaku UMKM yang memberikan keuntungan dibandingkan dengan pelaku UMKM lain atau dengan perusahaan lainnya. Sehingga, ada potensi di mana kendala dengan melibatkan pelaku UMKM adalah biaya input produksi menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan rantai pasok dari industri atau perusahaan lain.
Kedua, selain kemampuan pelaku UMKM memenuhi persyaratan dalam pengadaan barang dan jasa, perusahaan juga akan mempertimbangkan pengalaman pelaku UMKM, izin usaha, akuntabilitas, hingga kualitas layanan yang ditawarkan oleh pelaku UMKM tersebut. Dalam konteks ini, perusahaan bisa menentukan aturan administrasi tambahan dengan meminta pelaku UMKM untuk melengkapi syarat administrasi, seperti nomor induk berusaha (NIB), layanan transaksi digital, sertifikasi kemampuan khusus atau produk, hingga target layanan tertentu lainnya yang dibutuhkan.
Selanjutnya dari sisi pelaku UMKM. Saat ini pelaku UMKM banyak didominasi oleh pelaku usaha mikro yang tentunya sangat rentan tidak memiliki izin usaha tertentu. Skala bisnisnya masih di bawah standar dan tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal untuk menjadi rantai pasok perusahaan atau industri besar.
Untuk itu, pertama, pelaku UMKM harus memiliki usaha yang berizin atau setidaknya memiliki dasar hukum dalam bentuk sebuah perusahaan atau koperasi. Dalam konteks ini, pelaku UMKM bisa mengajukan agar usahanya memiliki izin. Atau, jika dinilai sekalipun sudah berizin namun skala bisnisnya belum mumpuni untuk menjadi bagian dari rantai pasok industri besar, maka bisa dilakukan konsolidasi dengan pelaku UMKM lainnya dalam suatu wadah bernama koperasi.
Jadi, nantinya yang menjadi pemasok bagi perusahaan besar adalah koperasinya. Dalam hal ini, isi dari koperasi tersebut adalah gabungan dari banyak pelaku UMKM. Sebagai ilustrasi, misalkan sebuah perusahaan penghasil produk makanan dan minuman yang membutuhkan komoditas cabai dalam ukuran besar (minimal 5 ton per hari). Maka, petani cabai yang hanya menghasilkan cabai dalam ukuran kecil (puluhan hingga ratusan kilo) bisa membangun sebuah koperasi atau badan usaha milik desa (BUMDes).
Koperasi atau BUMDes itu nantinya mengumpukan cabai dari para petani. Sehingga, koperasi atau BUMDes tersebut yang nantinya mendistribusikan cabai ke perusahaan besar. BUMDes atau koperasi tadi bisa menjembatani para petani untuk menjadi pemasok bagi industri besar. Dengan begitu, petani pun akan mendapatkan harga bersaing dan pihak perusahaan mendapatkan harga yang bersaing serta kualitas barang yang terjaga.
Kedua, pelaku UMKM bisa melakukan promosi atau penawaran ke industri besar dengan memberikan proposal kerja sama yang mungkin dibutuhkan oleh perusahaan besar. Dalam konteks ini, pelaku UMKM dapat melakukan upaya “jemput bola” dengan memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk membaca profil usaha dari pelaku UMKM.
Baca juga: Jebakan Utang Versus UMKM Naik Kelas
Terakhir dari sisi pemerintah. Peran pemerintah akan menjadi penentu bagaimana nantinya pelaku UMKM akan menjadi bagian dari rantai pasok perusahaan besar atau tidak. Itu karena pemerintah bisa mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bisa menjembatani kepentingan kedua belah pihak, yakni kepentingan pelaku UMKM dan kepentingan pihak perusahaan.
Langkah yang bisa diambil pemerintah dalam melakukan tahapan kebijakan adalah sebagai berikut. Pertama, berikan kemudahan perizinan bagi perusahaan ataupun pelaku UMKM. Izin menjadi penting manakala pelaku UMKM membutuhkan izin usaha saat menjadi bagian dari rantai pasok industri besar. Atau, pemerintah melakukan upaya “jemput bola” dengan mengajak pelaku UMKM untuk memiliki sebuah badan usaha atau membangun sebuah koperasi atau BUMDes.
Tanamkan kesadaran mengenai pentingnya membangun sebuah badan usaha agar pelaku UMKM memiliki kesempatan untuk meningkatkan skala bisnis usahanya. Bukan hanya kesempatan untuk meningkatkan skala usaha. Pelaku UMKM yang mendapatkan bantuan uang tunai saat ini juga seharusnya diarahkan menjadi bagian dari suatu koperasi, BUMDes atau memiliki izin usaha tertentu. Juga tidak hanya terdaftar secara administratif di dinas koperasi dan UMKM.
Kedua, pemerintah bisa memberikan insentif kepada perusahaan dan pelaku UMKM. Sebagai contoh, industri makanan dan minuman bisa mendapatkan insentif pajak, setelah industri tersebut membangun kemitraan dengan pelaku UMKM. Atau, industri tersebut akan diberikan alokasi khusus impor barang modal atau bahan baku jika telah memenuhi kriteria tertentu setelah membangun kemitraan dengan pelaku UMKM.
Insentif serupa juga bisa diberikan kepada pelaku UMKM yang telah bermitra dengan perusahaan besar. Sehingga, pelaku UMKM nantinya dapat terus meningkatkan skala bisnisnya. Dengan segala bentuk insentif tersebut, diharapkan kedua pihak, yakni perusahaan dan pelaku UMKM, dapat melakukan hubungan kemitraan yang lebih luas.
Ketiga, berikan pendampingan. Pendampingan ini diberikan tidak hanya kepada pelaku UMKM, tetapi juga perusahaan besar. Misalnya, pendampingan pengembangan sumber daya manusia pelaku UMKM, atau pendampingan promosi produk pelaku UMKM dan industri.
Baca juga: Menteri Teten Soroti UMKM RI yang Belum Terkoneksi dengan Industri
Bisa juga pendampingan lain yang sifatnya menjembatani kebutuhan pelaku UMKM dan industri. Sebagai contoh, kebutuhan akan bahan baku input produksi industri yang membutuhkan hasil olahan bukan lagi kebutuhan bahan mentah. Pemerintah dapat melakukan pendampingan kepada pelaku UMKM dalam memenuhi kebutuhan bahan baku input produksi yang harus diolah terlebih dahulu.
Dalam hal ini dengan menjembatani kebutuhan barang modal (mesin pengolah), baik berupa kemudahan dalam mendapatkan barang tersebut maupun kebutuhannya dengan pengadaan melalui program corporate social responsibility (CSR) perusahaan atau pembiayaan dari perbankan.
Keempat, mengeluarkan regulasi atau aturan yang mengikat sebagai bentuk kepastian hukum hubungan kemitraan antara pelaku UMKM dan perusahaan besar. Regulasi ini bisa melingkupi kemudahan dalam hal perizinan, insentif, pertukaran informasi, pembinaan atau pendampingan, promosi, kemudahan dalam akses pembiayaan, hingga aturan lain yang menjadi kekuatan hukum tetap. Sehingga, ada kepastian hukum yang nantinya akan sangat menentukan bagaimana proses kemitraan ini berlangsung.
Itulah pemikiran penulis dalam mendorong upaya pelaku UMKM agar naik kelas dengan menjadi bagian dari rantai pasok industri.
Akhir kata, “Mencintai UMKM Itu Berkah dan Mulia”.
Penulis adalah Dirut Bank Sumut dan pemerhati UMKM