Jakarta – Pernyataan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menuduh pabrik pakan besar (feedmill) sebagai penyebab tingginya harga jagung di pasaran, tidak berdasar. Tuduhan Kementan justru terlihat melempar tanggung jawab ke pihak lain, untuk menutupi ketidakmampuan Kementan dalam mengelola pasokan jagung. Terlebih, pernyataan Kementan tersebut juga memicu bentrokkan antara peternak dengan industri pakan.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Ketua Presidium Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi seperti dikutip dalam keterangannya di Jakarta, rabu, 14 November 2018. Menurutnya, kondisi gudang-gudang feedmill tidaklah cukup besar untuk bisa menampung produksi jagung yang mencapai hampir 30 juta dalam setahun ini. Oleh sebab itu, tuduhan Kementan tersebut tidaklah sesuai dengan dilapangan.
“Sekarang nalarnya dipakai. Memang kemampuan gudangnya feed mill itu berapa juta ton? Bulog saja sebagai badan logistik kapasitas gudangnya cuma berapa ribu ton,” ujar Ki Musbar
Ia mengilustrasikan, per tiga bulan, produksi jagung nasional bisa mencapai 10 juta ton jika mengikuti klaim Kementan. Apabila 70%-nya disebutkan diserap oleh feedmil, maka tiap tiga bulan pabrik pakan besar ini memiliki stok 7 juta ton jagung pakan. Padahal kebutuhan jagung industri hanya 700 ribu ton per bulan atau setara 2,1 juta ton dalam satu kuartal.
Ditambah dengan buffer stock sekitar 1 juta ton untuk 1,5 bulan, kelebihan jagung yang bisa diserap feedmil dari petani hanya mencapai 4 juta ton. “Jagung itu mau disimpan di mana? Bisa nutupin jalan depan pabrik sampai 10 kilo kali. Itu ke mana? Memang jagungnya jagung siluman?” tegasnya.
Selain itu, dirinya juga meminta Kementan mengakui realitas yang ada dan tidak menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam. Kenyataannya, saat ini harga jagung sudah melonjak hingga Rp5.700—5.800 kilogram rata-rata secara nasional. Padahal, harga yang direkomendasikan untuk jagung pakan hanyalah Rp4.000-an per kilogram.
“Sekarang feedmil sama peternak itu sama-sama user. Memang 10 juta ton gudangnya di mana? Nalarnya dipakai deh. Jangan nuduh feedmill sebagai pengijon,” paparnya.
Ia balik bertanya kepada Kementan, apabila benar ada produksi hingga 30 juta ton, berapa besar benih yang mesti dipakai untuk mencapai produksi tersebut. Dalam kenyataannya, produksi benih nasional tidak mencapai 60 ribu ton per tahun.
Senada, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, tuduhan Kementan yang mengkambing hitamkan feedmil sebagai penyebab tingginya harga jagung adalah mengada-ada. Ia meyakini tidak ada mekanisme panjar atau dibeli lebih dulu oleh pengusaha pakan. “Ini cari-cari alasan saja Kementan. Kalau mau cari alasan yang masuk akal dong,” tambahnya.
Menurutnya, sistem pembelian jagung oleh pengusaha pakan ke petani adalah tunai. Mekanisme panjar baru dilakukan jika barang terbatas. Mekanisme panjar menurutnya juga cenderung tidak dipilih. Pengusaha tidak mau menanggung kerugian jika petani jagung gagal panen. “Kalau Kementan bilang ada surplus jagung, mana ada panjar-panjar? Jadi ini kan bertolak belakang dengan ucapan mentan yang bilang surplus jagung 12 juta ton,” tukas dia. (*)