Jakarta – Presiden Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal hingga 54 persen terhadap lebih dari 60 negara mitra dagang, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengatakan, kebijakan tarif Trump akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia secara drastis, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki.
“Tarif setinggi ini akan menaikkan harga jual, mendorong buyer berpaling ke negara lain, dan memicu risiko pemutusan hubungan kerja massal di dalam negeri,” kata Syafruddin dalam keterangannya, Kamis, 3 April 2025.
Padahal sektor ekspor non-migas merupakan salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Syafruddin menyatakan bahwa jika kebijakan ini dibiarkan tanpa respons, Indonesia berisiko mengalami kontraksi ekspor yang berdampak langsung pada sektor riil.
Baca juga: Trump Resmi Umumkan Tarif Impor Baru, Indonesia Kena 32 Persen
Syafruddin menyebut untuk merespons ancaman ini, Indonesia tidak boleh hanya bersikap reaktif. Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif dengan membangun koalisi dagang berbasis zero tariff bersama negara-negara berkembang lain yang juga menjadi korban kebijakan Trump.
“Kita dapat menawarkan model perdagangan bebas yang benar-benar adil tanpa diskriminasi, tanpa sanksi sepihak, dan berbasis prinsip resiprositas sejati,” ujarnya.
Lebih lanjut, Syafruddin menjelaskan, zero tariff antarnegara Global South dapat menjadi motor baru integrasi ekonomi Selatan-Selatan, memperluas pasar, dan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi global.
Langkah iti dianggap lebih strategis daripada menunggu kebaikan dari negara yang memaksakan ketentuan sepihak.
Perlunya Reformasi Ekspor Nasional
Syafruddin menekankan, kebijakan tarif Trump juga harus dibaca sebagai panggilan untuk mereformasi ekspor nasional. Indonesia selama ini terlalu bergantung pada pasar tradisional seperti AS dan Eropa.
Baca juga: Rupiah Diprediksi Masih Tertekan Imbas Kebijakan Tarif Trump
Oleh karena itu, kini saatnya mempercepat diversifikasi pasar ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong ekspor barang bernilai tambah tinggi agar tidak lagi bergantung pada margin harga.
“Jika kita terus mengekspor produk mentah dan manufaktur murah, maka kita akan selalu rentan terhadap tekanan tarif dari negara-negara besar. Transformasi industri menuju ekspor berbasis inovasi dan teknologi adalah jalan keluar jangka panjang,” ungkapnya.
Ancaman bagi Stabilitas Perdagangan Global
Syafruddin menegaskan, kebijakan Trump ini bukanlah fair trade, melainkan bentuk distorsi kebijakan yang mengancam stabilitas perdagangan global. Jika negara-negara lain mengikuti langkah serupa, maka World Trade Organization (WTO) akan kehilangan relevansinya, dan proteksionisme akan menjadi norma baru.
“Indonesia tidak boleh diam. Sebagai negara demokrasi besar dan anggota G20, kita memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan sistem perdagangan yang adil, terbuka, dan inklusif, bukan berdasarkan rasa takut, tetapi atas dasar prinsip. Karena fair trade yang sejati bukan tentang menang sendiri, tetapi tentang tumbuh bersama,” tegasnya.
Ketidakproporsionalan Tarif dan Kepentingan Geopolitik
Melalui infografik terbaru, Syafruddin menunjukkan betapa tidak proporsionalnya kebijakan tarif Trump. Indonesia dikenai tarif 32 persen, padahal defisit perdagangannya dengan AS “hanya” sekitar USD 18 miliar.
Baca juga: Ekspor Tekstil RI Tumbuh Tipis, Impor dari China Tertekan
Sebagai perbandingan, Vietnam yang memiliki defisit USD 123 miliar dikenai tarif 46 persen, sedangkan Tiongkok dengan defisit hampir USD 300 miliar dikenai tarif 34 persen.
“Tarif yang dikenakan pada Indonesia tidak mencerminkan beban yang seimbang atau berbasis data. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan lagi soal koreksi neraca dagang, melainkan strategi geopolitik untuk menekan negara-negara mitra agar tunduk pada kepentingan ekonomi domestik AS,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra