Transformasi Total, Obat Manjur Perbankan Syariah

Transformasi Total, Obat Manjur Perbankan Syariah

 

Oleh Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

EFEKTIF 1 Februari 2021, Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah dan BNI Syariah merger menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Kini konon BSI segera mengakuisisi BTN Syariah sehingga BSI digadang-gadang menjadi bank syariah papan atas tingkat dunia menurut total aset.

Namun, ternyata pangsa pasar pembiayaan perbankan syariah masih di bawah 10% dari total kredit perbankan konvensional padahal perbankan syariah telah berusia lebih daripada 30 tahun. Mengapa perbankan syariah bagai jalan di tempat? Bagaimana menggenjot kinerja perbankan syariah? Transformasi total!

Mari kita amati dulu kinerja perbankan syariah. Statistik Perbankan Syariah yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 1 Juli 2022 menunjukkan bahwa pembiayaan bank umum syariah (BUS) (tidak termasuk Unit Usaha Syariah/UUS) naik 6,90% dari Rp248,18 triliun per Maret 2021 menjadi Rp265,30 triliun per Maret 2022. Ternyata, pembiayaan perbankan syariah itu telah melebihi kredit perbankan konvensional 6,66% pada periode yang sama.

Bagaimana laju dana pihak ketiga (DPK)? DPK naik lebih tinggi 15,17% dari Rp318,97 triliun menjadi Rp367,36 triliun. Oho, lagi-lagi kenaikan DPK perbankan syariah melampaui DPK perbankan konvensional 9,70%.

Tetapi sayangnya, financing to deposit ratio (FDR) perbankan syariah turun dari 77,81% menjadi 72,22% di bawah ambang batas 78-94%. FDR itu jauh lebih rendah daripada loan to deposit ratio (LDR) perbankan konvensional 78,69%. Data itu merupakan simbol bahwa perbankan syariah kurang agresif. Salah satu sebabnya adalah pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan industri perbankan nasional sehingga kredit sempat mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) dan mengalami pertumbuhan positif mulai Juli 2022.

Sejauh mana laba perbankan syariah? Hingga Maret 2022, laba perbankan syariah naik 21,28% dari Rp7,33 triliun menjadi Rp8,89 triliun. Laba tersebut lebih rendah daripada laba sebelum pajak perbankan konvensional yang menanjak 29,26% menjadi Rp211,50 triliun.

Celakanya, imbal hasil total aset (return on assets/ROA) turun dari 2,06% menjadi 1,99%. Meskipun ROA perbankan syariah itu masih melebihi ambang batas 1,5%, namun masih di bawah ROA perbankan konvensional 2,20%.

Artinya, kualitas aset (assets quality) perbankan syariah cukup baik. Tetapi kualitas aset perbankan konvensional lebih baik. Dengan bahasa lebih bening, hampir semua aset mampu menghasilkan imbal hasil yang menggembirakan.

Itulah sekejap kinerja perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional per Maret 2022. Hal itu merupakan sinyal adanya sinar harapan yang cerah di industri perbankan nasional.

Baca juga : Perkuat Kapasitas Perbankan Syariah, Kementerian BUMN Mendorong Integrasi BSI & UUS BTN

Faktor Kunci Keberhasilan

Lantas, apa saja faktor kunci keberhasilan (key success factors) untuk menggenjot kinerja perbankan syariah?

Pertama, sinar harapan yang cerah juga tampak dari kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) perbankan syariah yang tinggi 23,13% meskipun turun dari 24,45%. CAR tersebut hampir mendekati CAR perbankan konvensional 24,85%. Ini kabar gembira!

Apa manfaat modal? Modal minimum merupakan penyangga (buffer) yang dapat ditarik bank sehingga dapat menyerap kerugian. Komite Basel telah setuju untuk melembagakan penyangga di atas minimum. Ada dua jenis penyangga yakni penyangga konservasi modal (capital conservation buffer) dan penyangga untuk melawan risiko siklikal (counter-cyclical buffer) (Thomas F. Huertas, 2011).

Penyangga konservasi modal adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga apabila terjadi kerugian pada periode krisis. Penyangga untuk melawan risiko siklikal adalah tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Kedua, namun sesungguhnya modal bukan satu-satunya elemen yang penting bagi bank untuk dipenuhi agar mampu bersaing dengan gesit (agile). Masih ada elemen lainnya seperti manajemen, strategi bisnis, sumber daya manusia (SDM), tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG termasuk kepatuhan atau compliance, pengawasan dan manajemen risiko) dan infrastruktur.

Pun basis nasabah (customer base), teknologi informasi, kemitraan strategis (strategic partnership) termasuk bank koresponden, kreditur dan investor (Paul Sutaryono, Bisnis Indonesia, 23 Januari 2020). Dengan bahasa lebih lugas, bank wajib memiliki manajemen yang sanggup bertindak adaptif selain inovatif dan transformatif. Sikap itu bertujuan untuk mengikuti perubahan bisnis dan lingkungan bisnis yang penuh rekayasa bisnis perbankan berbasis digital.

Ketiga, tetapi perbankan syariah juga wajib senantiasa menaikkan tingkat efisiensi yang tersurat dalam rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang kini naik (memburuk) dari 82,10% menjadi 86,76%. Bandingkan dengan BOPO perbankan konvensional 79,94%.

Sarinya, perbankan syariah masih kurang efisien dengan ambang batas 70-80%. Inilah tantangan berat bagi perbankan syariah untuk terus bersaing dengan tangkas.

Keempat, perbankan syariah pun wajib terus meningkatkan penerapan manajemen risiko terutama risiko kredit. Meskipun kini rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) menipis dari 3,23% menjadi 2,59%. NPF itu lebih rendah daripada rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan konvensional 2,99%.

Dengan demikian, NPF perbankan syariah itu lebih baik. Hal itu merupakan sinyal perbaikan kualitas pembiayaan pada perbankan syariah. Bagus! Mengapa? Lantaran makin tinggi NPF akan makin tinggi pula cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus dibentuk pada periode tertentu.

Kelima, selain itu, perbankan syariah juga harus melakukan deferensiasi produk dan jasa. Lho? Mengingat Indonesia memiliki basis nasabah yang sangat besar dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Itulah peluang bisnis yang sangat luas untuk digali dengan perbankan syariah berbasis digital.

Sungguh, perbankan syariah harus mampu mengeduk sedalam mungkin pendapatan dari komisi (fee-based income) nan gurih. Katakanlah, pengelolaan rekening giro, tabungan dan deposito (current accounts and saving accounts/CASA), ATM, kartu kredit, Mobile Banking, Internet Banking, cash management dan wealth management. Pun kredit konsumsi seperti kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit pemlikan rumah (KPR) dan kredit tanpa agunan (KTA).

Keenam, bukan hanya itu. Perbankan syariah juga harus sanggup mendulang emas dari transaksi internasional berupa ekspor, impor, bank garansi (trade finance) dan transaksi derivatif lainnya. Demikian pula transaksi treasury seperti penempatan dana di pasar uang (money market) dan transaksi devisa (foreign exchange).

Pada bank konvensional papan atas, pendapatan dari komisi itu dapat menyumbang sekitar 35% dari seluruh total pendapatan dari komisi setiap tahun. Luar biasa!

Ketujuh, belum ditambah lagi rejeki dari transaksi remitansi (remittances) dari transfer keluar untuk mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Apalagi dari remitansi yang dikirim penyumbang devisa yakni Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di mancanegara. Lumbung rejeki bersumber dari TKI di Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan dan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE) dan Qatar.

Kedelapan, namun, tingkat keberhasilan transaksi itu semua juga sangat tergantung pada tingkat persaingan harga (price competition level) perbankan syariah dibandingkan dengan perbankan konvensional. Bagaimana konkretnya?

Sebagai contoh, coba kita cermati tingkat margin rata-rata pembiayaan perbankan syariah yang mencapai 14,13% untuk kredit modal kerja dan 10,34% untuk kredit investasi per Maret 2022. Hal itu jauh lebih tinggi daripada perbankan konvensional 8,59% untuk kredit modal kerja dan 8,32% untuk kredit investasi.

Demikian pula, tingkat margin rata-rata pembiayaan perbankan syariah untuk kredit konsumsi 10,76% sedikit lebih tinggi daripada perbankan konvensional 10,32%. Ringkas tutur, tingkat margin rata-rata pembiayaan perbankan syariah masih tinggi (mahal).

Oleh karena itu, hal tersebut menjadi tantangan sejati bagi perbankan syariah untuk menurunkan biaya dana. Bagaimana kiatnya? Menggali aneka sumber dana yang lebih murah. Jangan lupa bahwa perbankan syariah merupakan ceruk pasar (market niche) yang legit bahkan bagai lahan mutiara yang belum digarap.

Kesembilan, tantangan lain adalah melakukan sosialisasi dan edukasi tentang madu dan racun perbankan syariah untuk mengerek tingkat literasi keuangan. Menurut Survei Nasional Literasi dan Industri Keuangan (SNLIK) pada 2019, indeks literasi keuangan 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Meskipun tergolong masih rendah, angka tersebut meningkat dibandingkan dengan hasil SNLIK pada 2016 yang menunjukkan indeks literasi keuangan 29,7% dan indeks inklusi keuangan 67,8%.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal. Padahal literasi keuangan merupakan keterampilan yang penting untuk pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan individu, perlindungan konsumen dan peningkatan inklusi keuangan.

Nah, ketika aneka faktor kunci keberhasilan itu telah terpenuhi dengan saksama, maka kinerja perbankan syariah akan semakin gemerincing. BSI sangat diharapkan dapat menjadi ujung tombak bagi kemajuan dan perkembangan perbankan syariah. (*)

Related Posts

News Update

Top News