Tingginya Bunga Acuan Ditengah Hadirnya Spekulan di Pasar Valas

Tingginya Bunga Acuan Ditengah Hadirnya Spekulan di Pasar Valas

JakartaBank Indonesia (BI) diprediksi akan menahan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate, setelah dalam periode Mei-Juni 2018 Bank Sentral sudah naikkan bunga acuannya sebanyak 100 basis points (bps) menjadi 5,25 persen. Pasalnya, kenaikan bunga acuan yang berlebih memicu adanya spekulan di pasar valas.

Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Ekonom Indef, Bhima Yudistira saat dihubungi Infobank di Jakarta, Kamis, 19 Juli 2018. Menurutnya, langkah Bank Sentral untuk naikkan bunga acuannya dianggap temporer dan kurang efektif meskipun BI sudah naikkan sebenayak 100 bps sejak bulan Mei lalu.

“Hari ini BI 7-day diperkirakan akan bertahan di 5,25 persen alias tidak menaikkan bunga acuan. Jadi untuk antisipasi Fed Rate (suku bunga AS) yang akan naik 2 kali lagi maka diperlukan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal,” ujarnya.

Bank Sentral memang menyatakan masih memiliki ruang untuk mengetatkan kebijakan moneternya ditahun ini. Namun, kata Bhima, langkah BI yang menaikkan suku bunganya kurang efektif dan justru bakal memicu terjadinya spekulan di pasar valas. Aksi spekulan tersebut dikhawatirkan bakal membuat rupiah bergerak fluktuatif.

“Dari BI sendiri jika tetap gunakan bunga acuan maka prediksinya akan naikkan 1 kali lagi 25 bps menjadi 5,5 persen. Kenaikan bunga yang berlebihan dikhawatirkan memicu spekulasi berlebihan dipasar valas,” tegasnya.

Nilai tukar rupiah yang saat ini masih bergerak di level 14.400 an per dolar AS menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga acuan kurang efektif. Oleh sebab itu, BI harus memiliki langkah lain selain menaikkan suku bunganya untuk stabilkan rupiah. Kenaikan bunga acuan BI yang diprediksi sekali lagi ditahun ini juga harus melihat kondisi perbankan.

Baca juga: BI Tahan Bunga Acuan 5,25%

“BI perlu mendorong Kemenkeu untuk lakukan relaksasi pajak terutama untk sektor yang berkaitan dengan devisa yakni ekspor dan pariwisata. Kemudian BI juga perlu memperhatikan kondisi perbankan dan sektor riil akibat naiknya bunga kredit,” ucapnya.

Jika memang BI kembali menaikkan suku bunga acuannya lagi ditahun ini maka akan memberikan imbas terhadap perekonomian, salah satu impeknya adalah kontraksi di pertumbuhan kredit lantaran permintaan kredit yang menurun akibat ikut meningkatnya suku bunga kredit perbankan sebagai respon kenaikan bunga acuan.

Suku bunga acuan yang naik akan memicu naiknya bunga kredit perbankan dalam waktu 1-3 bulan. Asumsinya, jika bunga acuan BI naik sebanyak 4-5 kali ditahun ini atau menjadi level 5,5 persen, maka suku bunga kredit perbankan bukan tidak mungkin untuk tembus mencapai rata-rata 11,75 persen sampai dengan 12 persen ditahun ini.

Dengan adanya kondisi tersebut, maka pelaku usaha secara terpaksa atau mau tidak mau akan mencari pendanaan alternatif seperti penerbitan saham dan obligasi. Bagi perbankan sendiri, kondisi seperti ini tentu saja bisa menggerus marjin laba perbankan. Prospek kredit bank akan menjadi kurang bagus bahkan diprediksi sampai 2019.

Di tengah kebijakan yang lebih pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed, BI sendiri meyakini ekonomi Indonesia, khususnya pasar aset keuangan, tetap kuat dan menarik bagi investor, termasuk investor asing. Dengan investasi yang terjaga, stabilitas ekonomi diharapkan tetap terjaga dan pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Asal tahu saja, Bank Sentral telah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan pada 18-19 Juli 2018. Pada hari ini, Bank Sentral akan mengumumkan arah kebijakan lanjutannya apakah menahan suku bunga acuannya di level 5,25 persen atau justru kembali menaikkannya lagi. Keputusan kebijakan di RDG BI sangat ditunggu oleh pelaku pasar. (*)

Related Posts

News Update

Top News