Jakarta – Kondisi ekonomi global dibayangi ketidakpastian yang tinggi. Belum pulih benar dari tekanan pandemi COVID-19, konflik Rusia-Ukraina meningkatkan ketegangan geopolitik dan menganggu rantai pasok global. Tren inflasi yang melonjak turut menjadi tantangan. Namun Indonesia dinilai mempunyai banyak alasan tetap optimis menyambut tahun 2023 yang diprediksi akan lebih menantang.
Yasushi Itagaki, Direktur Utama Bank Danamon Indonesia mengatakan, dengan memahami adanya peningkatan risiko ekonomi dan geopolitik, semua pihak bisa mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa akan datang. Nasabah dan pemangku kepentingan membutuhkan informasi terkini dan terbaik untuk mendukung langkah mereka dalam menjawab tantangan, sekaligus mencari peluang bisnis untuk tumbuh berkelanjutan bersama Danamon. Itu pula yang melatarbelakangi Danamon bersama MUFG Bank dan Adira Finance menggelar The Indonesia Summit 2023 Rebuild The Economy di Jakarta, 27 Oktober 2022 kemarin.
“Selama masa yang tidak menentu ini, kita perlu menilai apa yang akan datang dan dengan hati-hati membuat penilaian, pilihan dan keputusan untuk beradaptasi terhadap perubahan di masa depan, sehingga kita dapat tetap berkembang apa pun tantangan di depan,” papar Itagaki saat menyampaikan opening speech di The Indonesia Summit 2023.
Pada sesi panel pertama, Hiroshi Watanabe, President of Institute for International Monetary Affairs mengungkapkan, ekonomi global harus menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pandemi COVID-19 sudah memberikan masalah besar, terutama kepada negara-negara miskin. Penanganan COVID-19 menghabiskan banyak uang, sehingga jumlah utang membengkak dan memberi tekanan bagi sejumlah negara. Lalu, kebijakan moneter Amerika Serikat melalui The Fed akan berdampak besar terhadap aliran uang atau arus modal (capital flow). Ini akan berdampak besar bagi ekonomi negara berkembang. Selanjutnya, ada konflik Rusia-Ukraina yang memicu kenaikan harga energi dan pangan. Negara-negara Eropa pun dibayangi krisis. Terakhir, ketegangan Amerika Serikat dan China yang sudah berlangsung cukup lama juga masih menjadi tantangan. Kondisi sekarang semakin memburuk, dan ekonomi China sendiri menghadapi situasi sulit.
Panelis lain, yakni Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan RI periode 2014-2016 mengatakan, persoalan sekarang dikarenakan sisi penawaran yang sulit mengejar kenaikan permintaan pasca pandemi. Inflasi yang cenderung naik memang menjadi tantangan. Bank sentral akan terus menaikkan suku bunga jika inflasi masih relatif tinggi. Tapi Indonesia memiliki cara sendiri dalam mengantisipasi potensi inflasi, terutama yang bersumber dari volatilitas harga. Pemerintah mempunyai sejumlah instrumen, misalnya mengoptimalkan peran Bulog untuk menjaga stabilitas harga. Kementerian Perdagangan juga bisa melakukan operasi pasar. Sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa, semua mengacu pada mekanisme pasar. Indonesia akan berkinerja lebih baik bila mampu menjaga inflasi.
“Satu-satunya masalah sekarang adalah kita masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi, terutama untuk melakukan percepatan pemulihan. Maka kuncinya terletak pada kemampuan kita dalam memanfaatkan pasar domestik. Bagaimana memastikan inflasi kita terkendali. Kita harus mengombinasikan subsidi dengan kebijakan lain, terlalu bergantung pada subsidi sangat berbahaya. Kombinasi subsidi dengan kebijakan lain menjadi kunci kita untuk mengelola inflasi dan menjaga daya beli,” ujarnya.
Di kesempatan sama, Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan mengatakan, terkait inflasi, setelah kenaikan harga BBM bersubsidi, memang akan ada percepatan laju inflasi. Namun itu masih normal. Secara fundamental, ekonomi Indonesia cukup kuat, meski tetap harus berhati-hati. Terkait volatilitas global, dengan kepemilikan obligasi pemerintah oleh asing berada pada rekor terendah, tidak banyak ruang untuk capital ouflow besar atau ekstrim. Reformasi struktural dan kebijakan fiskal yang berfokus pada transformasi ekonomi akan menjadi salah satu upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sedangkan Shinta Kamdani, CEO of Sintesa Group sekaligus Chair of B20 Indonesia menjelaskan, kondisi ekonomi global, termasuk inflasi dan nilai tukar akan mempengaruhi kinerja industri nasional. Apalagi Indonesia banyak mengandalkan bahan baku impor untuk produksi. Perlambatan ekonomi di negara mitra dagan juga akan mempengaruhi ekspor. Di lain sisi, masih ada banyak peluang yang bisa dioptimalkan. Di antaranya melalui adopsi teknologi dan meningkatkan efisiensi serta memaksimalkan pasar yang selama ini belum digarap. Pelaku industri perlu mendiversifikasi sumber pasokan bahan baku, serta mencari pasar-pasar baru.
Adapun sesi panel kedua gelaran tahunan yang diinisiasi Danamon tersebut fokus pada diskusi terkait industri otomotif di Indonesia. Pembicara yang dihadirkan adalah Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronik Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Taufiek Bawazier, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara, Direktur PT Astra Otoparts Tbk Kusharijono, dan Project General Manager Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing Co., LTD Indra Chandra Setiawan. (*) Ari Astriawan