Jakarta – Pagatan Usaha Makmur (PUM) tengah menyiapkan diri masuk ke pasar karbon lewat proyek reforestasi di Kalimantan Tengah. Namun, hingga kini penjualan kredit karbon masih harus menunggu kejelasan teknis dari pemerintah.
Co-Founder & CEO PUM, Rio Christiawan, mengatakan potensi perdagangan karbon Indonesia akan memuncak pada 2027–2028 mendatang, sesuai target penurunan emisi negara (NDC).
“Perdagangan karbon dari reforestasi belum bisa dimulai karena masih menunggu arahan perhitungan. Mudah-mudahan secepatnya,” ujarnya, di Jakarta dikutip 17 Juli 2025.
Selain itu, meski banyak startup lingkungan bertumpu pada pendanaan eksternal, PUM memilih mengandalkan modal patungan dari pemegang saham. Pasalnya, bisnis reforestasi berbeda dengan industri padat modal seperti tambang atau kelapa sawit.
Baca juga: BEI Bidik Transaksi Bursa Karbon Tembus 3 Juta Ton di Akhir 2025
“Industri ini hanya butuh menjaga kawasan hutan, bukan membangun pabrik besar. Tantangannya justru menjaga alam dari kebakaran, perladangan berbakar, atau satwa langka,” jelas Rio.
Karena izin lahan reforestasi bukan berupa sertifikat kepemilikan tanah, PUM juga belum bisa memanfaatkan skema pinjaman bank. Sebab, bank biasanya meminta jaminan aset atau pendapatan tetap, sedangkan pendapatan dari kredit karbon belum berjalan.
“Cash flow kami murni dari kantong pemegang saham. Karena visi kami ini jangka panjang, dan memang bukan industri dengan initial investment besar,” tambahnya.
Rio menekankan, yang terpenting saat ini adalah menjaga potensi emisi karbon tetap rendah dan menyiapkan basis data emisi sebagai modal utama di perdagangan karbon nanti.
“Data pas historis dulu jarang disiapkan, padahal itu penting. Setelah 2021, pemerintah mulai menata ini. Jadi meski belum bisa jual, ekosistemnya harus jalan,” katanya.
Selain reforestasi, PUM juga menggarap unit bisnis biochar dan produk turunan pertanian untuk menambah pendapatan.
Baca juga: BEI Catat Nilai Transaksi Bursa Karbon Capai Rp77,95 Miliar per Juli 2025
Di sisi lain, mereka tetap aktif melakukan advokasi melalui skema Free, Prior, Informed Consent (FPIC) dan Social Impact Assessment di desa-desa sekitar kawasan.
“Jadi sambil nunggu regulasi karbon, masyarakat tetap punya sumber nafkah,” ungkapnya.
Ke depan, PUM berharap dapat menjadi contoh nyata bagaimana bisnis reforestasi bisa berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat.
“Yang penting mindset-nya bukan deforestasi, tapi reforestasi. Karena tujuan akhirnya bukan hanya menekan emisi, tapi juga menyejahterakan masyarakat lewat hutan lestari,” tutup Rio. (*) Ayu Utami









