Poin Penting
- Masuknya perusahaan angkutan umum asing, didorong UU Cipta Kerja, membuat persaingan bagi operator lokal semakin ketat.
- Sekitar 85% operator angkutan umum adalah UMKM, yang menghadapi kesulitan bersaing dengan armada asing dan regulasi yang tidak merata.
- Pelaku usaha meminta pemerintah menetapkan segmentasi pasar dan persaingan sehat agar industri angkutan umum lokal tetap berkelanjutan.
Jakarta - Iklim bisnis dalam beberapa waktu terakhir terus menghadapi disrupsi. Salah satu sektor yang tidak luput dari hantaman disrupsi adalah sektor usaha angkutan umum.
Kajian mendalam dari Inisiatif Strategis Transportasi (Instran) yang dilakukan selama periode April sampai Juli 2025, menemukan beberapa disrupsi yang mengakibatkan penurunan jumlah perusahaan angkutan umum swasta nasional dalam sedekade terakhir.
Pertama, era disrupsi oleh layanan transportasi digital, dimana taksi konvensional kalah bersaing dengan angkutan sewa khusus (ASK) dan ojek online (ojol) sejak pertengahan 2014.
Baca juga: Ancaman Ekonomi di Balik Rencana Perpres Ojol, Driver Minta Pemerintah Hati-Hati
Akibatnya, pada 2017, perusahaan taksi di Jakarta tinggal 10 persen atau 4 perusahaan dari 35 perusahaan sebelumnya akibat persaingan harga yang tidak seimbang.
Padahal, jumlah taksi di Jakarta sempat mencapai puncaknya pada 2013 dengan 27.239 unit yang dioperasikan oleh 35 operator.
Regulasi dan Investasi Asing
Disrupsi teknologi diperparah dengan belum optimalnya pemerintah dalam mengatur dan mengawasi layanan transportasi berbasis aplikasi.
Apalagi, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka lebih banyak sektor strategis untuk investasi asing, membuat kompetisi usaha angkutan umum di Indonesia semakin ketat.
Baca juga: RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional
Sebelum adanya UU Cipta Kerja, regulasi mengenai penanaman modal asing (PMA) untuk angkutan taksi dibatasi maksimal 49 persen melalui Perpres No. 44 Tahun 2016.
Adanya UU Cipta Kerja yang diturunkan lewat Perpres No. 49 Tahun 2021 menjadikan sektor angkutan taksi salah satu sektor yang terbuka 100 persen bagi PMA.
PMA meningkat 29,4 persen dalam lima kuartal sejak diterbitkannya UU Cipta Kerja.
Beberapa perusahaan transportasi luar negeri semakin leluasa masuk ke Indonesia, seperti layanan taksi listrik Xanh SM (sekarang Green SM) dari Vietnam yang mulai beroperasi di Jakarta sejak Desember 2024.
Perusahaan taksi listrik asal Vietnam yang menggunakan mobil listrik VinFast itu menargetkan 10.000 armada dan 100.000 stasiun pengisian hingga 2027 di Indonesia.
Perusahaan bajaj roda tiga Maxride, afiliasi Bajaj Auto Limited asal India, juga mulai masuk ke Indonesia dengan model bisnis berbasis aplikasi dan kemitraan dengan pengemudi.
Perlunya Segmentasi Pasar dan Persaingan Sehat
Melihat temuan kajian tersebut, Ketua Advokasi Instran, Yusa Cahya Permana menerangkan, angkutan umum seharusnya dikembangkan menjadi industri jasa yang memenuhi standar pelayanan dan mendorong persaingan sehat melalui pemetaan segmentasi pasar yang jelas.
“Pemerintah itu harus jelas dalam menetapkan segmentasi pasar. Sekarang ini betul-betul dilepas, segmentasinya tidak jelas, targetnya siapa, enforcement-nya bagaimana. Lalu, kriteria persaingan sehat itu apa,” ujar Yusa dalam diskusi publik bertajuk “Diskursus Dinamika Keterbukaan Investasi Pengusahaan Angkutan Umum” di Jakarta, Selasa, 16 Desember 2025.
Baca juga: Geser Raffi Ahmad, Ini Sumber Kekayaan Rey Utami yang Ditaksir Rp4,7 T
Tanpa pemetaan segmentasi pasar yang sehat, masuknya perusahaan angkutan umum asing berpotensi terus menggerus segmen usaha angkutan umum lokal.









