Tekanan Ekonomi Bikin Kelas Menengah Lebih Realistis, Tak Lagi Doyan Flexing

Tekanan Ekonomi Bikin Kelas Menengah Lebih Realistis, Tak Lagi Doyan Flexing

Poin Penting

  • Studi Hakuhodo menunjukkan kelas menengah Indonesia kini lebih realistis akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian global.
  • Pola hidup bergeser dari mengejar validasi dan flexing menjadi mencari keseimbangan, ketenangan, dan kebahagiaan diri.
  • Kelas menengah dan aspiring middle class masih menyumbang 81,49% konsumsi domestik meski jumlahnya menurun pada 2024.

Jakarta – Hakuhodo International Indonesia melalui Sei-katsu-sha Lab merilis hasil studi terbaru berjudul “Navigating the In Between – Living as Indonesian Middle Class”.

Studi tersebut menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia kini beradaptasi dan menjadi lebih realistis menghadapi tantangan ekonomi.

Kondisi ekonomi sulit dan ketidakpastian menjadi faktor utama yang mengubah cara pandang kelas menengah terhadap hidup.

Mereka merasa perlu tumbuh menjadi lebih bijak dan realistis, menjadi apa yang disebut sebagai The Grown Up Middle.

Baca juga: Breaking! Ekonomi RI Tumbuh 5,04 Persen di Kuartal III 2025

Lebih rinci, studi ini memperlihatkan tiga dimensi utama perubahan kelas menengah.

Pertama, pandangan terhadap kehidupan (value of life), dari penuh mimpi menjadi realistis.

Studi sama pada 2015 menunjukkan bahwa kelas menengah berlomba-lomba untuk naik tangga sosial ekonomi.

Kini, mereka lebih realistis menghadapi kenyataan. Tapi tidak mudah menyerah dan mempunyai kemampuan beradaptasi.

Mereka tidak lagi mengejar validasi, tapi lebih mencari ketenangan dan keseimbangan hidup.

Prioritas diri bergeser dari look good menjadi feel good. Selain itu, komunitas kini mengambil peran sebagai penopang stabilitas hidup. Komunitas menjadi wujud baru “social insurance”.

Baca juga: Jumlahnya Tergerus, Pemerintah Tegaskan Tidak Meninggalkan Kelas Menengah

Kedua, pandangan kelas menengah terhadap kesuksesan (value on success) mengalami pergeseran dari proving to improving.

Kesuksesan tidak lagi diukur dari kekayaan atau finansial semata, tapi mengutamakan kemampuan diri untuk bisa bertahan dan berkembang, serta mampu menjaga martabat dan rasa percaya diri dalam menghadapi situasi yang sulit dan tidak menentu.

Ketiga, pandangan terhadap pola konsumsi atau value on consumption, berubah dari konsumsi untuk flexing menjadi konsumsi untuk feeling good. Kelompok ini tidak lagi belanja untuk memperlihatkan kelas atau status.

Belanja kini mempunyai fungsi yang penting dalam bertahan di tengah ketidakpastian.

Baca juga: Jumlahnya Tergerus, Pemerintah Tegaskan Tidak Meninggalkan Kelas Menengah

Devi Attamimi, Group CEO Hakuhodo International Indonesia, mengatakan dunia yang bergerak tanpa henti menuntut kita semua beradaptasi, termasuk kelas menengah yang berada di tengah pusaran perubahan.

Mereka membawa mimpi untuk menopang kemajuan Indonesia. Tapi di sisi lain menanggung tekanan.

“Di Sei-katsu-sha Lab kami mempelajari manusia bukan sebagai tren, melainkan sebagai kisah hidup yang terus berkembang. Dan bagi para pelaku industri pemasaran, peran kita adalah mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan yang membuat hidup terasa lebih bermakna,” paparnya kepada awak media di Jakarta, Rabu, 5 November 2025.

Pelaku industri pemasaran didorong untuk melihat perspektif baru dalam pendekatan terhadap kelas menengah. Brand bisa mengambil peran dalam kehidupan kelas menengah dengan muncul dalam keseharian mereka.

Baca juga: Masyarakat Kelas Menengah Makin “Turun Kasta”, Ini Solusi dari ISEI

Pada kesempatan sama, Rian Prabana, Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia & Head of Sei-katsu-sha Lab, mengatakan, hasil studi ini memberikan warna dan perspektif baru tentang Kelas menengah di mana mereka terus tumbuh, tanpa kita sadari. Mereka tidak lagi sekadar mencari aspirasi, tetapi mencari keseimbangan.

Brand perlu memahami sisi emosional ini yang sering tidak tergambarkan oleh angka statistik. Dengan membawa pandangan baru ini, Marketers dapat membangun hubungan yang lebih relevan dan memberikan peran penting dalam pertumbuhan mereka,” tambah Rian.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut dari 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Padahal, kelas menengah memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

BPS mencatat, kombinasi segmen ‘kelas menengah’ (middle class) dan segmen ‘menuju ke kelas menengah’ (aspiring middle class), mencakup 66,35 persen dari total populasi. Kelompok ini berkontribusi sebesar 81,49 persen terhadap konsumsi domestik Indonesia. (*) Ari Astriawan

Related Posts

News Update

Netizen +62