Masyarakat Kelas Menengah Makin “Turun Kasta”, Ini Solusi dari ISEI

Masyarakat Kelas Menengah Makin “Turun Kasta”, Ini Solusi dari ISEI

Jakarta – Kelompok kelas menengah masih mengalami tantangan akibat tekanan ekonomi. Hal ini tercermin dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mencatat 9,48 juta penduduk selama periode 2019-2024 telah meninggalkan status kelas menengah.

Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bidang III, Josua Pardede, menyebut fenomena tersebut disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang membuat banyak rumah tangga rentan tidak terjangkau bantuan sosial.

“Mereka secara ekonomi lemah, tetapi karena pendapatannya sedikit di atas garis kemiskinan, mereka tidak tercatat sebagai masyarakat miskin dan tidak menerima bansos. Kelompok rentan ini sangat mudah jatuh miskin jika terkena tadi sedikit ada krisis finansial atau kenaikan harga,” ucap Josua dalam Launching ISEI Lead Indicators yang digelar secara daring, 1 Juli 2025.

Baca juga: Stimulus Ekonomi Dinilai Perlu Sasar Kelas Menengah, Ini Alasannya

Tidak hanya itu, kata Josua, daya beli kelas menengah juga mengalami penurunan akibat inflasi, stagnasi upah, hingga tekanan ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir. Sejurus dengan itu, konsumsi rumah tangga ikut melemah. Ini menjadi tekanan bagi ekonomi Indonesia, mengingat kelas menengah menjadi penggerak konsumsi domestik ekonomi.

Sehingga, menurut Josua, pemerintah harus berfokus pada pemberdayaan, antara lain melalui akses pendidikan, kesehatan, dan pelatihan vokasional. Pemberdayaan tersebut, diyakini Josua dapat mendorong penerima bantuan meningkatkan kondisi hidup secara lebih mandiri.

“Kebijakan yang bersifat transformatif ini memang penting dalam konteks makroekonomi karena jika berhasil, keluarga miskin tidak akan terus menerus bergantung pada bantuan pemerintah yang mereka akan dapat naik kelas dan menjadi kelompok produktif yang berkontribusi pada perekonomian,” imbuhnya.

Gagasan konkret yang dapat mewujudkan transformasi tersebut adalah integrasi bantuan sosial dengan insentif usaha produktif, seperti integrasi kartu sejahtera sosial dan kartu usaha produktif.

“Kita bisa mencontoh misalkan di Bangladesh ini ada Grameen Bank yang memberikan pinjaman mikro tanpa agunan bagi masyarakat miskin. Pola ini pun juga dapat kita adaptasi untuk mendorong wirausaha di kalangan masyarakat miskin,” ujar Josua.

Baca juga: Raden Pardede: Kelas Menengah jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi RI

Nantinya, kata Josua, pola ini dapat diadaptasi untuk mendorong wirausaha di kalangan penerima bantuan termasuk perempuan, lanjut usia, hingga kaum muda yang menganggur.

Meski demikian, akses terhadap pendanaan mikro yang muda dan berkelanjutan juga harus diiringi dengan peningkatan kapasitas mereka. 

Menurut Josua, strategi ini memang diharapkan mengubah mindset dari yang semuanya konsumtif menjadi produktif. Sehingga, bantuan sosial menjadi semacam ‘kail atau pancingan, bukan hanya ikan semata’.

“Jadi dari sudut pandang pembangunan transformasi semacam ini menciptakan unit-unit usaha baru, mengurangi pengangguran dan pada gilirannya memperluas basis pajak dan juga pendapatan nasional,” tambahnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

Top News

News Update