Jakarta – Pemerintah Indonesia harus mendorong ekspor berbagai produk maupun komoditas ke China. Pasalnya, gap nilai perdagangan antara Indonesia dan China semakin membesar, disinyalir sebagai imbas perang dagang antara negara tersebut dan Amerika Serikat (AS).
Padahal, potensi pasar China dinilai sangat besar karena jumlah penduduknya terbanyak. Untuk itu Menteri Perdagangan diminta lebih aktif melakukan lobi-lobi dengan China. Indonesia juga dianggap masih memiliki banyak produk dan komoditas yang bisa meningkatkan nilai ekspor Indonesia.
“Iya jadi sebenarnya masih bisa diupayakan dengan berbagai strategi. Jadi yang namanya berdagang atau bekerja sama itu dalam hal ini kita konteksnya bersaing, jadi produknya yang bersaing,” ujar Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus dalam Keterangannya, di Jakarta, Kamis, 18 Juli 2019.
Heri menambahkan bahwa pemerintah bisa mengidentifikasi produk atau komoditas mana saja dari Indonesia yang bisa dioptimalkan produksinya sehingga bisa meningkatkan nilai ekspor. Menurutnya, optimalisasi produksi dapat menekan nilai defisit Indonesia terhadap perdagangan dengan China yang pada tahun 2018 meningkat hingga hampir setengahnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), nilai defisit perdagangan Indonesia terhadap China pada tahun 2018 mencapai US$18,40 miliar. Angka ini terpantau meningkat sekitar 45% dibandingkan defisit perdagangan Indonesia terhadap China pada 2017 yang hanya senilai US$12,68 miliar.
Nilai ekspor Indonesia ke China pada periode Januari hingga April 2019 juga terpantau turun dibandingkan capaian ekspor periode sama tahun sebelumnya, yakni dari US$11,13 miliar menjadi US$10,34 miliar. Sementara nilai impor Indonesia dari China pada 2018 meningkat 27,31% (yoy) dari US$35,76 miliar di 2017 menjadi US$45,53 miliar pada tahun 2018.
“Artinya mereka (China) nggak apa-apa, kitanya yang apa-apa. Artinya dengan ada perang dagang, China bisa cari pasar alternatif selain ke Amerika Serikat. Mereka (China) ke Indonesia, India, dan negara lainnya,” paparnya.
Wakil Sekretaris Jenderal China-ASEAN EXPO (CAEXPO), Yang Yanyan sebelumnya menyebutkan bahwa ada sejumlah produk Indonesia yang dibutuhkan oleh penduduk China, salah satunya minyak alami anti-nyamuk dari lavender. “Kami juga tertarik pada buah Durian. Kami baru tahu ternyata ada juga di Indonesia. Selama ini penduduk China tahunya buah Durian dari Thailand,” ucapnya.
Heri pun menyarankan pemerintah untuk lebih cermat menangkap peluang perdagangan yang telah diungkap China. Menurut Heri, sejumlah komoditas pertanian yang kerap dianggap sepele oleh penduduk Indonesia perlu dibudidayakan agar kebutuhan negara tujuan ekspor dapat dipenuhi, meski dalam jumlah besar sekalipun.
Ia menyarankan Kementan untuk meningkatkan standar produksi komoditas tanaman, agar dapat lebih mudah diekspor ke pasar global. Menurutnya hal ini harus dilakukan, mengingat sejumlah negara seperti China dan Jepang kerap memberlakukan non-tariff measure (NTM) terhadap produk-produk makanan yang akan masuk ke negara mereka.
China merupakan pasar yang penting untuk dikejar nilai pedagangannya. Mengingat, negara ini masih menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia yang mencakup hampir 20% populasi dunia. Indef berharap, Indonesia pun diharapkan bisa ikut memenuhi kebutuhan hidup lebih dari satu miliar penduduk China.
“Di sana kan negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Ya itu yang kita sebetulnya punya peluang untuk mengembangkan ekspor ke sana,” tandasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Juni 2019 mengalami surplus USD0,2 miliar atau tepatnya USD196,0 juta, dengan total ekspor USD11,78 miliar dan total impor USD11,58 miliar. Meski surplus, ekspor Indonesia pada Juni 2019 turun 20,54% dibandingkan ekspor Mei 2019. Dibandingkan tahun sebelumnya, ekspor juga turun 8,98%. (*)