Tax Amnesty, Mampukah Tingkatkan Penerimaan Pajak?

Tax Amnesty, Mampukah Tingkatkan Penerimaan Pajak?

Jakarta – Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang saat ini sedang diperdebatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan selesai pada awal Juni 2016 sebelum masa reses DPR Juli 2016.  Kebijakan ini akan memberi peluang untuk pengembalian dana-dana yang saat ini berada di luar negeri ke Indonesia. Beberapa persiapan juga telah dilakukan untuk menampung penerimaan dana tersebut.

Beberapa sumber informasi menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah menyiapkan obligasi yang tidak dapat diperdagangkan untuk menyerap pemasukan dana tersebut.  Lima institusi keuangan termasuk tiga bank BUMN akan ditunjuk sebagai manajer investasi untuk mengelola dana-dana tersebut.

Undang-undang pengampunan pajak ditengarai akan membawa dampak signifikan bagi pemerintah dalam memenuhi target anggaran pendapatan dan target defisit 2016.  Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dalam kurun waktu empat bulan terakhir Indonesia baru mencapai 20% dari total target penerimaan pajak. Data Kemenkeu menyebutkan, dana yang telah terkumpul mencapai Rp283 triliun (US$ 21 miliar), lebih rendah 8,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp309 triliun.

Redahnya penerimaan pajak ini ini diantaranya disebabkan oleh penundaan pembayaran para wajib pajak karena tidak adanya kepastian akan undang-undang pengampunan pajak. Revisi anggaran pembelanjaan negara 2016 yang telah disetujui pada bulan Oktober tahun lalu masih tertahan hingga adanya kejelasan pada undang-undang tersebut. Tanpa adanya pendapatan tambahan dari pengampunan pajak, laju pertumbuhan dapat terganggu dikarenakan pendapatan yang lebih rendah dan berdampak pada pemotongan pengeluaran pemerintah serta pemotongan biaya pembangunan infrastruktur.

Lalu berapa banyak (potensi) pendapatan tambahan yang dapat diperoleh dari Undang-undang Pengampunan Pajak? Ho Woei Chen, Ekonomi UOB Bank mengatakan, Undang-undang pengampunan pajak mengusulkan tarif biaya 1%-3% jika dana tersebut ditempatkan kembali ke Indonesia atau 2%-6% jika dana dilaporkan oleh wajib pajak namun tidak ditempatkan di Indonesia.

Ho Woei Chen melihat, terdapat perbedaan siginifikan antara Bank Indonesia (BI) dan Kemenkeu atas estimasi pendapatan tambahan yang dihasilkan dari Undang-Undang Penghapusan Pajak. Estimasi tersebut bervariasi dari US$4 miliar hingga US$12 miliar atau sekitar 0,5% hingga 1,4% dari total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia.

Pemerintah mencatatkan defisit fiskal sebesar 2,8% dari GDP 2015. Meskipun tahun ini pemerintah menetapkan defisit fiskal di angka 2,2% namun diperkirakan dapat terjadi kenaikan hingga 3,0%.

“Kami percaya pendapatan tambahan ini akan membantu pemerintah memastikan rencana pembangunan infrastruktur yang telah disusun dapat berjalan di tahun ini. Dalam pelaksanaannya, pemerintah berharap langkah ini akan memperluas sumber pajak” ujar Ho Woei Chen.

Menteri Keuangan Indonesia, Bambang Brodjonegoro, lanjut Ho Woei Chen, sebelumnya memprediksi, dari 27,6 juta wajib pajak yang terdaftar dan 114,8 juta pekerja di Indonesia, hanya 900 ribu orang yang membayar pajak. Berdasarkan pengalaman Sunset Policy 2008, rasio penerimaan pajak terhadap GDP naik ke 13,3% pada 2008 tapi tidak berhasil bertahan. Semenjak itu, rasio penerimaan pajak turun ke level 10,7% pada 2015.

Menurut Ho Woei Chen, pemulangan dana yang dilaporkan  akan membawa dampak positif terhadap perekonomian dalam likuiditas dan potensi pendapatan masa depan. Kemenkeu memperkirakan, dana yang akan dipulangkan mencapai sekitar Rp1.000 triliun (US$ 76 miliar) atau sekitar 20% dari total pajak yang dilaporkan.(*)

 

Related Posts

News Update

Top News