Tarik Tunai Tinggi, Kartu Kredit Rawan Macet

Tarik Tunai Tinggi, Kartu Kredit Rawan Macet

Transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit trennya meningkat sejak 2014. Sebagian pengguna menjadikan kartu kredit sebagai alat berutang. Awas, NPL kredit menggunakan kartu merangkak naik!

Jakarta – Kartu kredit sejatinya berfungsi sebagai alat bayar, bukan untuk berutang. Keberadaannya bersama kartu automatic teller machine (ATM) dan kartu ATM/debit sebagai instrumen alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) adalah untuk memudahkan transaksi masyarakat sekaligus mengurangi penggunaan uang tunai.

Hanya, dalam beberapa waktu terakhir, terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit. Menurut data Bank Indonesia (BI), pada 2015 volume tarik tunai menggunakan kartu kredit naik 74,92% menjadi 6,61 juta dari 3,78 juta pada 2014. Sementara, pada sisi nilainya terjadi kenaikan sebesar 51,68%, dari Rp4,88 triliun pada 2014 menjadi Rp7,40 triliun.

Kenaikan transaksi tarik tunai jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan transaksi belanja dan total transaksi kartu kredit secara keseluruhan pada 2015. Tahun lalu transaksi belanja kartu kredit hanya tumbuh di kisaran 9%, baik untuk volume maupun nilai transaksinya. Sementara, untuk total transaksi kartu kredit, volume dan nilai transaksinya masing-masing tumbuh 10,62% dan 9,99%.

Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), tren peningkatan tarik tunai menggunakan kartu kredit mulai terlihat pada 2014. Ketika itu tarik tunai dengan kartu kredit tumbuh sekitar 11% hingga 12%. Kondisi itu sangat berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Pada 2012 dan 2013 tarik tunai menggunakan kartu kredit justru tumbuh negatif, yakni masing-masing -10,72% dan -5,87%, untuk volume transaksi.

Hingga tiga bulan berjalan pada 2016, transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit masih menunjukkan tren meningkat, kendati tak setinggi 2015. Sepanjang Januari hingga Maret 2016, volume dan nilai transaksi tarik tunai masing-masing tercatat naik 11,36% dan 8,63% secara tahunan atau menjadi 1,83 juta dan Rp1,99 triliun.

Menurut pandangan Infobank Institute, tren peningkatan transaksi tarik tunai kartu kredit mencerminkan bahwa masih ada pengguna kartu kredit yang menggunakan kartu kreditnya sebagai alat berutang. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat bank sentral dan para penerbit kartu kredit yang menghadirkan kartu kredit untuk memudahkan transaksi.

Kartu kredit yang penggunaannya lebih dominan untuk alat berutang akan sangat berisiko memunculkan kredit macet. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, mulai 2014 hingga Februari 2016, non performing loan (NPL) kredit bank umum yang penarikannya menggunakan kartu cenderung merangkak naik.

Kondisi itu berbeda dengan pergerakan NPL kredit yang penarikannya menggunakan kartu pada periode 2011 hingga 2014. Meski secara angka, NPL kredit yang penarikannya menggunakan kartu lebih besar pada periode 2011 hingga 2014, pada kurun waktu itu NPL justru bergerak turun.

BI sendiri selaku otoritas yang mengawasi dan mengatur sistem pembayaran di Tanah Air terus berupaya menjadikan bisnis kartu kredit makin sehat. Upaya itu, di antaranya dilakukan dengan mengetatkan aturan, yakni dengan meningkatkan persyaratan dalam pemberian fasilitas kartu kredit serta membatasi jumlah kepemilikan kartu kredit. Dengan aturan yang tight, diharapkan kartu kredit benar-benar dimiliki orang yang berhak dan punya kemampuan untuk membayar cicilan.

Ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian dan aspek manajemen risiko pemberian kartu kredit tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Kemudian, diperkuat dengan Surat Edaran (SE) BI Nomor 14/27/DASP tentang Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit.

Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa individu dengan pendapatan kurang dari Rp3 juta tidak diperbolehkan memiliki kartu kredit. Individu dengan pendapatan antara Rp3 juta hingga Rp10 juta boleh memiliki kartu kredit maksimal dari dua penerbit dengan pengaturan besaran plafon maksimal tiga kali dari pendapatan per bulan nasabah. Sementara, pada klausul lainnya dijelaskan bahwa individu dengan pendapatan lebih dari Rp10 juta tidak dibatasi kepemilikan kartu kreditnya, tapi tetap mempertimbangkan analisis risiko masing-masing penerbit kartu.

Transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit yang tercatat dan dilaporkan kepada otoritas jelas merupakan transaksi penarikan uang yang terjadi melalui ATM. Transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit lewat ATM memang diperbolehkan. Namun, dari bisik-bisik sejumlah pengguna kartu kredit kepada Infobank, pada praktiknya di lapangan masih juga terjadi transaksi tarik tunai menggunakan kartu kredit melalui merchant atau pedagang atau dikenal dengan sebutan gesek tunai (gestun).

Gestun sebenarnya sudah dilarang BI. Ketentuan dilarangnya gestun juga tertuang dalam beleid tentang APMK 2012 tadi. Gestun merupakan praktik penarikan dana tunai dengan menggunakan kartu kredit di merchant. Dengan melakukan gestun, pemilik kartu kredit menggesek kartunya seolah-olah berbelanja, tapi yang diperoleh bukan barang, melainkan uang tunai.

Penerbit kartu kredit, yang hingga Maret 2016 berjumlah 23 perusahaan—dengan rincian, 22 bank dan 1 lembaga pembiayaan—jelas tunduk pada ketentuan BI soal gestun. Jadi, masih adanya praktik gestun besar kemungkinan lantaran ada sebagian merchant yang melanggar aturan main, dengan melayani transaksi gestun.

“Kami sudah lama larang tarik tunai (gestun). Kalau kami tahu, kami cabut electronic data capture (EDC)-nya (pada merchant). Kami lihat saja mutasi-mutasinya, agak aneh atau enggak. Kalau cenderung kami lihat ini gestun, kami tarik EDC-nya,” jelas Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama Bank Central Asia (BCA), kepada Rezkiana Nisaputra dari Infobank, bulan lalu.

Sementara, pada awal 2016 bisnis kartu kredit sepertinya masih belum bergairah. Dari sisi total nilai transaksi, justru terjadi perlambatan. Pada triwulan pertama 2016 total nilai transaksi kartu kredit tercatat hanya tumbuh 5,81% secara tahunan atau menjadi Rp69,86 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, total nilai transaksi kartu kredit tumbuh hingga 16,12%.

Hingga akhir tahun, bisnis kartu kredit diperkirakan akan tumbuh melambat. Ada sejumlah hal yang jadi penyebabnya, seperti kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih serta mulai diberlakukannya ketentuan wajib melaporkan data dan informasi perpajakan pada kartu kredit. Ketentuan ini sangat mungkin menimbulkan koreksi pada bisnis kartu kredit. Sebab, ada peluang para pemilik kartu kredit bakal mengurangi transaksi kartu kreditnya. Bahkan, mungkin saja pengguna kartu kredit menutup fasilitas kartu kreditnya. Per Maret 2016 jumlah kartu kredit beredar mencapai 16,89 juta, tumbuh 4,85% dibandingkan dengan Maret 2015 yang tercatat 16,11 juta.

Kendati bisnis kartu kredit sedang berada dalam tekanan, hal itu tidak menyurutkan hasrat sejumlah bank penerbit kartu kredit untuk menggenjot bisnisnya agar tetap kencang. Bank Mega, misalnya. Tahun ini bank yang menjadikan bisnis kartu kredit sebagai salah satu bisnis utamanya ini masih memasang target pertumbuhan transaksi di angka 14% hingga 15%, di atas pencapaian pertumbuhan industri tahun lalu yang berada di kisaran 10%.

Hal itu bisa terjadi karena bank yang tergabung dalam kelompok usaha CT Corpora ini masih akan fokus menyinergikan bisnis kartu kredit dengan usaha-usaha ritel milik grupnya.

“Target pertumbuhan outstanding loan 10%-12%, akhir tahun (2015) Rp8 triliun, jadi tahun ini hampir Rp9 triliun,” tukas Wiweko Probojakti, Direktur Credit Card & Personal Loan Bank Mega, kepada wartawan, medio April lalu. (*) Ari Nugroho

NPL Kredit yang Penarikannya Menggunakan Kartu

Tahun201120122013201420152016*
NPL4,263,092,761,892,582,81

Ket: * = per Februari 2016, dalam persen (%)
Sumber: OJK, diolah kembali oleh Biro Riset Infobank (birI).

 

Related Posts

News Update

Top News