Tantangan Pasar Modal 2025
Page 2

Tantangan Pasar Modal 2025


Tantangan 2025

Keempat, apakah pasar modal masih akan bergejolak pada 2025? Hal itu sangat tergantung pada pemerintah dan regulator pasar modal dalam hal ini OJK. Selama ini, kebijakan pemerintah tampak kurang digodok dengan matang sehingga justru lahirlah gejolak di sektor keuangan.

Sebut saja, kebijakan kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku efektif 1 Januari 2025 dan isu gas melon 3 kg yang langka di tangan pengecer. Kemudian program pembangunan 3 juta rumah setahun mulai 2025 dan rencana pembentukan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih.

Program yang boleh dikatakan amat ambisius itu sudah seharusnya segera dilengkapi dengan peta jalan (road map) yang cemerlang dan dikawal oleh tata kelola yang baik (good corporate government/GCG). Dengan bahasa lebih bening, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam meluncurkan kebijakan.

Kelima, jangan lupa bahwa “gempa” susulan dapat menimpa pasar modal segera setelah AS mulai mengenakan tarif impor dari beberapa negara termasuk Indonesia yang dikenakan tarif 32 persen.

Sayangnya, Tim Negosiasi Indonesia yang telah melakukan negosiasi dengan Donald Trump tentang tarif impor ke AS tidak menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan Indonesia. Tarif impor kepada Indonesia justru naik dari 32 persen menjadi 47 persen. Waduh!

Penerapan tarif itu bisa menekan emiten yang melakukan ekspor ke AS mengingat biaya operasional makin tinggi. Padahal daya beli masyarakat menipis tatkala inflasi tercatat minus 0,09 persen (deflasi) per akhir Februari 2025 di tengah target inflasi 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2025. Sebelumnya, deflasi sudah melindas Indonesia selama lima bulan berturut-turut pada Mei-September 2024.

Baca juga: IHSG Sepekan Merosot 3,61 Persen, Kapitalisasi Pasar Jadi Rp12.099 Triliun

Manakala emiten semacam itu tidak mampu mengatasi makin tingginya biaya operasional, maka kinerja mereka akan merosot. Hal itu bisa mendorong menipisnya harga saham. Untuk itu, pemerintah perlu sat set untuk mengobati lumpuhnya kinerja emiten dan mengendalikan kurs rupiah yang berisiko melemah.

Jangan sampai ujungnya justru mendorong kenaikan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ingat bahwa telah terjadi PHK di PT Sri Rejeki Isman, Tbk (PT Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah sekitar 10.000 orang pada Januari dan Februari 2025.

Keenam, kembali ke pasar modal. Di pasar modal terdapat dua macam investor: investor individu dan investor institusi. Di AS, perkembangan investor individu begitu cepat.

Sejak 1920-an, masyarakat menjadi pemilik saham perusahaan yang signifikan. Pada 1959, investor individu baru mencapai 12,5 juta orang yang mewakili satu dari setiap delapan orang dewasa (1:8). Enam tahun kemudian pada 1965 naik menjadi 20,1 juta orang (1:6) dan 30,8 juta orang (1:4) pada 1970.

Celakanya, jumlah investor individu turun menjadi 25,2 juta orang (1:6) pada 1975 namun naik lagi menjadi 30,2 juta (1:5) pada 1980. Jumlahnya terus naik menjadi 47 juta orang (1:4) pada 1985 dan 50 juta (1:4) pada 1990 (William C. Frederick, James E. Post dan Keith Davis, Business and Society, 1992: 289).

Bagaimana investor individu di Indonesia? Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan jumlah investor di pasar modal naik 22,21 persen dari 12,16 juta single investor identification (SID) menjadi 14,87 juta. Hebatnya, investor pasar modal mayoritas disumbang oleh investor individu yang mencapai 99,7 persen.

Investor milenial (usia di bawah 40 tahun) mendominasi dengan menyumbang 79,31 persen dari total investor. Hal itu menyiratkan bahwa pasar modal bakal lebih bergairah walaupun ekonomi global masih temaram.

Ketujuh, oleh karena itu, inilah tantangan penting dan mendesak bagi OJK untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada investor. Hal itu bertujuan untuk mendongkrak tingkat literasi investasi (investment literacy).

Sosialisasi dan edukasi dapat dilakukan di luar jaringan (luring) langsung di kampus-kampus besar baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Aktivitas tersebut juga dapat dilakukan dalam jaringan (daring) melalui media sosial dan koran dan majalah daring yang menjadi habitat kaum milenial. Bahkan perusahaan sekuritas pun telah sering melakukan sosialisasi dan edukasi secara daring.

Dengan aneka langkah strategis demikian, “gempa” pasar modal dapat terkendali. Alhasil, pasar modal Indonesia kian moncer!  

Related Posts

News Update

Netizen +62