Tantangan Ciptakan Green Jobs dalam Pusaran Hilirisasi Nikel

Tantangan Ciptakan Green Jobs dalam Pusaran Hilirisasi Nikel

Jakarta – Hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah berpeluang besar menciptakan green jobs. Namun, peluang menciptakan lapangan kerja hijau tersebut belum jadi kenyataan.

Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, hasil studi Koaksi Indonesia menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs.

“Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” ujarnya dikutip 23 Januari 2025.

Hilirisasi nikel diklaim bisa meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2 hingga 21,6 persen serta menciptakan lapangan kerja 13,83 juta dalam 10 tahun.Namun sejumlah fakta yang terangkum dalam studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan.

“Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel cenderung stagnan bahkan di dua daerah, yaitu Halmahera Selatan dan Konawe meningkat,” jelasnya.

Baca juga: Berkat Hilirisasi Nikel, Ekonomi Desa Sekitar Pulau Obin Tumbuh 2 Kali Lipat

Studi ini juga menunjukkan bahwa narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih. Ini karena pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi.

“Dari kapasitas 18 gigawatt (GW) pembangunan PLTU yang direncanakan pemerintah, 13 GW untuk mendukung industri nikel. Akuntabilitas dan transparansi data perlu ditingkatkan agar hilirisasi nikel selaras dengan tujuan transisi energi bersih,” tambahnya.

Sementara, Taufik Achmad, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian mengatakan geliat hilirisasi masih didominasi sektor energi. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan nonmigas saat ini masih belum tersentuh.

Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri.

“Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel,” katanya.

Sementara, rantai pasok nikel secara keseluruhan disoroti oleh Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Dia mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia. Salah satunya paspor baterai yang harus dimiliki nikel Indonesia apabila ingin jalan-jalan ke Eropa, yaitu ESG.

“Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba,” jelasnya.

Di sisi lain, Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia, mengungkapkan bahwa pengembangan green jobs perlu fokus pada pekerja.

Baca juga: Bank DBS Indonesia Sinergi dengan Indorama Terkait Fasilitas Kredit Berbasis Keberlanjutan

Menurutnya, pekerja saat ini belum banyak yang memahami dan di beberapa sektor, pekerja belum bisa bertransisi. Pemerintah juga tidak pernah menjelaskan bagaimana peran dan peluang yang bisa diambil pekerja, nyatanya masih banyak pengangguran.

Oleh karena itu, serikat buruh mengusulkan, “Perlindungan hak dan keselamatan kerja, peningkatan keterampilan (upskilling and reskilling), pengembangan ekosistem tenaga kerja, advokasi dan dialog sosial, serta perlindungan sosial dan intensif”. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62