Oleh Paul Sutaryono
SUNGGUH Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah salah satu ujung tombak dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagaimana tantangan BPR di tengah ancaman resesi pada 2023?
Bagaimana kinerja BPR? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 18 November 2022 menunjukkan kredit tumbuh secara tahunan (yoy) 9,64% dari Rp 114,12 triliun per Agustus 2021 menjadi Rp 125,12 triliun per Agustus 2022. Pertumbuhan kredit yang menggembirakan meskipun di bawah pertumbuhan kredit bank umum 10,13%.
Namun, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 8,63% dari Rp 129,36 triliun menjadi Rp 140,52 triliun jauh lebih subur daripada pertumbuhan DPK bank umum 7,17%. Ujungnya, loan to deposit ratio (LDR) BPR menebal dari 74,87% menjadi 75,78%.
Namun, LDR BPR itu lebih rendah daripada LDR bank umum 81,56% dan di ambang batas 78-92%. Artinya, BPR kurang agresif dalam menyalurkan kredit antara lain karena gempuran pandemi.
Laba tahun berjalan pun naik 7,23% dari Rp 161,20 triliun menjadi Rp 175,04 triliun. Kenaikan laba tahun berjalan itu jauh lebih rendah daripada kenaikan laba sebelum pajak bank umum 43,89%. Imbal hasil aset (return on assets/ROA) naik dari 1,75% menjadi 1,77%. Intinya, kualitas aset (asset quality) semakin membaik di atas ambang batas 1,5%.
Imbal hasil ekuitas (return on equity/ROE) pun menebal dari 15,11% menjadi 15,18%. Lugasnya, kualitas ekuitas naik di atas ambang batas 12%. Itulah sekejab kinerja BPR hingga Agustus 2022.
Aneka Jurus Andalan
Lantas, tantangan apa saja bagi BPR? Jurus andalan apa saja yang wajib dimainkan BPR untuk menjawab tantangan pada 2023?
Pertama, BPR wajib menggenjot modal. Bagi sektor jasa keuangan terutama bank, modal merupakan perisai untuk sanggup menyerap berbagai risiko seperti risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas. Modal juga merupakan pilar utama bagi bank untuk meningkatkan daya saing.
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR, BPR wajib memiliki modal inti minimum dengan ketentuan berikut. BPR dengan modal inti kurang dari Rp 3 miliar wajib memenuhi modal inti minimum Rp 3 miliar paling lambat 31 Desember 2019.
Kemudian, BPR dengan dengan modal inti paling sedikit Rp 3 miliar namun kurang dari Rp 6 miliar wajib memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2019.
Untuk selanjutnya, BPR dengan dengan modal inti kurang dari Rp 3 miliar itu wajib memenuhi modal inti minimum Rp 6 miliar paling lambat 31 Desember 2024. Kini masih ada waktu 2 tahun lagi untuk memenuhi kewajiban itu. Mengingat waktu berjalan begitu cepat, maka BPR harus mengerek modal untuk mampu memenangi persaingan perbankan yang makin tajam.
Kedua, terlebih OJK sudah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 3/POJK.03/2022 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BPR dan BPRS. Penilaian tingkat kesehatan meliputi penilaian profil risiko, tata kelola, rentabilitas dan permodalan. Aturan itu berlaku sejak Laporan Desember 2022 sebagai uji coba dan berlaku efektif sejak Laporan Desember 2023. Ringkas tutur, kewajiban modal inti minimum itu sebagai harga mati.
Modal merupakan bantalan (buffer) yang memberikan perlindungan terhadap aneka risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko itu akan mempengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi bersangkutan. Modal ini bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).
Ketiga, kini jumlah BPR mencapai 1.450 per Agustus 2022 menyusut 34 dari 1.484 per Agustus 2021. BPR yang begitu banyak bisa membuat OJK mengalami kesulitan dalam melakukan pengawasan secara intensif. Hal itu dapat menimbulkan potensi risiko kasus perbankan.
Untuk itu, OJK terus mendorong konsolidasi perbankan. BPR yang tidak mampu memenuhi aturan modal inti minimum itu hendaknya segera melakukan merger atau diakuisisi bank yang lebih perkasa. Namun, prakteknya tak semudah itu.
Mengapa? Karena sebagian pemegang saham pengendali lebih memilih mandiri meski berdarah-darah. Lebih repot lagi ketika OJK seolah tak mampu memaksa selain mengimbau BPR untuk melakukan konsolidasi. Inilah tantangan serius Dewan Komisioner OJK yang baru dilantik 20 Juli 2022!
Keempat, mampukah BPR bersaing di tengah ancaman stagflasi yang ditengarai oleh inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi melambat bahkan ancaman resesi? Kini terdapat potensi kenaikan suku bunga kredit sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan (BI 7 day reverse repo rate) yang kini 5,25%.
Mampukah BPR bersaing dengan bank umum? Suku bunga rata-rata kredit modal kerja turun (yoy) dari 23,62% per Agustus 2021 menjadi 22,77% per Agustus 2022.
Sementara suku bunga rata-rata kredit investasi (yoy) turun dari 21,62% menjadi 20,97% sedangkan kredit konsumsi turun (yoy) dari 21,02% menjadi 20,57%. Sikap menahan kenaikan suku bunga kredit itu bisa dianggap cerdik.
Celakanya, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) BPR memburuk dari 7,63% menjadi 7,98% jauh di atas ambang batas aman 5%. Itulah tanda bahaya bagi BPR untuk terus memperbaiki kualitas kredit. Mengapa? Lantaran, makin tinggi NPL, makin tinggi pula cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Cadangan itu akan menekan laba dan menggerus modal.
Untunglah, OJK telah memperpanjang restrukturisasi kredit dari Maret 2023 menjadi Maret 2024. Buahnya, nasabah yang terpapar pandemi dapat bernafas lebih panjang. Hal itu bertujuan untuk mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Keempat, BPR pun perlu menaikkan tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dengan ambang batas 70-80%. Sayangnya, OJK tidak menyajikan BOPO dalam SPI. Padahal rasio itu penting untuk mendorong BPR agar mengerek tingkat efisiensi sebagai senjata ampuh dalam memenangi persaingan.
Berani Berubah Total
Kelima, untuk itu, BPR harus berani bertindak adaptif dan transformatif dengan menyediakan produk dan jasa perbankan berbasis digital. Hal itu untuk menanggapi perubahan perilaku nasabah yang lebih suka melakukan transaksi daring.
Teknologi informasi (TI) mampu mengerek tingkat layanan, mempercepat antaran jasa, meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Untuk itu, BPR dapat menggandeng mesra perusahaan teknologi finansial untuk mengerek pangsa pasar.
Itu langkah strategis untuk menahan serangan merger 3 BUMN Ultra Mikro yakni PT Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan BRI sebagai induk usaha. Apa itu pembiayaan ultra mikro? Menurut Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 95/PMK/05/2018, pembiayaan ultra mikro merupakan program tahap lanjut dari program bantuan sosial menjadi kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah yang belum dapat difasilitasi perbankan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Pembiayaan ultra mikro (UMi) maksimal Rp 10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank (LKBB). Intinya, BRI dan BPR tidak berhak untuk menyalurkan UMi karena bukan LKBB. Sebelum ada merger itu, lembaga penyalur UMi adalah PT Pegadaian, PT PNM dan PT Bahana Artha Ventura.
Nah, ketika kini BRI boleh menyalurkan kredit UMi, maka sudah sepatutnya bank umum lainnya plus BPR juga dapat menyalurkannya. Apalagi UMi itu merupakan habitat BPR. Kesetaraan berbisnis dapat mencegah monopoli bisnis. Hendaknya, hal ini menjadi perhatian Menkeu sebagai penerbit Permenkeu itu dan OJK.
Keenam, untuk mampu menjawab tantangan itu, BPR wajib memperkaya kompetensi SDM melalui pelatihan TI, perkreditan, audit, kepatuhan dan manajemen risiko. Karena itu, BPR dapat merangkul bank pemerintah Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN sebagai mitra bisnis.
Ketujuh, melalui Peraturan BI Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) efektif 31 Agustus 2021, BI mewajibkan bank umum untuk menyalurkan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) minimal 30% dari total kredit.
Kewajiban itu ditunaikan secara bertahap, tahap 1: 20% pada akhir Juni dan Desember 2022. Tahap 2: 25% pada akhir Juni dan Desember 2023 dan tahap 3: 30% sejak akhir Juni 2024.
Ingat kewajiban itu bukan untuk BPR melainkan bank umum. Namun, BPR bisa kejatuhan durian runtuh berupa pembagian margin. Kok bisa? Karena bank papan atas biasanya tak mampu terjun sendiri untuk menggapai target itu. Segmen itu bukan bisnis inti bank papan atas kecuali BRI sebagai pemimpin pasar UMKM. Walhasil, bank papan atas memeluk BPR dalam bentuk kredit chanelling.
Inilah kesempatan emas bagi BPR untuk menggenjot kredit UMKM dengan tetap selektif. Mengapa? Karena NPL kredit UMKM cukup tinggi 4,09% meskipun sudah turun dari 4,65%.
Kedelapan, karena itu pemerintah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) perlu terus mendorong kredit ke UMKM. Pada 2022, pemerintah mengalokasikan dana PEN untuk UMKM 20% dari total Rp 455,62 triliun dan akan naik menjadi 30% pada 2023.
Alokasi dana PEN untuk UMKM layak untuk terus digenjot mengingat UMKM sanggup menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja. Hal itu pun bertujuan untuk menekan tingkat pengangguran terbuka 5,86% (8,42 juta orang) per Agustus 2022 yang turun dari 6,49% (9,1 juta orang) per Agustus 2021.
Tatkala aneka jurus andalan itu telah dapat dimainkan dengan cantik, BPR amat diharapkan mampu bersaing dengan tangkas di tengah ancaman resesi pada 2023!
*) Penulis adalah Pengamat Perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009) dan Staf Ahli Pusat Pariwsata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya