Jakarta–Pemenuhan kebutuhan daging nasional menjadi salah satu prioritas utama yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, swasembada daging sapi untuk ketahanan pangan nasional dinilai masih jauh dari harapan.
Di sisi lain, pemberdayaan potensi daerah yang bisa menjadi penghasil daging daging sapi masih memerlukan berbagai aspek dukungan agar bisa lebih optimal.
“Swasembada daging sapi hanya dapat terlaksana apabila potensi sumber daya dalam negeri dimaksimalkan serta regulasi yang ada berpihak kepada peternak rakyat,” kata Direktur Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (PSDLH), Kemendesa, Faizul Ishom dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa 3 Oktober 2015.
Menurut Faizul, Indonesia memiliki bibit yang memadai dan lahan yang luas, terutama di daerah tertingal yang belum banyak dikembangkan dalam peternakan sapi. Dengan memanfaatkan lahan dan sumberdaya hayati di daerah tertinggal dan pembibitan dengan pola ekstensifikasi dan intensifikasi diharapkan swasembada daging sapi bukan hanya impian, tapi menjadi kenyataan, dan mampu memberdayakan ekonomi rakyat khususnya di perdesaan dan daerah tertinggal.
Faizul memaparkan, konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya 2,2 kg perkapita/tahun dan masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Argentina yang konsumsi dagingnya mencapai 55 kg perkapita/tahun, Brasil 40 kg perkapita/tahun, dan Jerman 40-45 kg perkapita/tahun. Sementara Singapura dan Malaysia sebanyak 15 kg perkapita/tahun.
“Walaupun konsumsi daging sapi orang Indonesia rendah, namun karena penduduk kita banyak, tetap saja kita membutuhkan daging sapi ratusan ribu ton tiap tahunnya,” ungkap Faizul.
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO), Djoni Liano menuturkan database yang ada saat ini masih bersifat sektoral. Selama ini yang menjadi perhitungan adalah kebutuhan daging dihitung secara nasional bukan berdasarkan kebutuhan di tiap daerah. Di samping itu, menurut dia, swasta memerlukan dukungan dan insentif dari pemerintah terutama terkait dengan penyediaan lahan untuk meningkatkan skala usaha. Karena jika hal ini terus diabaikan, maka pemenuhan daging sapi selalu saja diselesaikan dengan cara importasi dari luar.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Tri Hartini mengatakan bahwa saat ini pemerintah tengah mengembangkan dan melaksanakan konsep Sentra Peternakan Rakyat (SPR). Diharapkan dengan adanya program ini kebutuhan daging nasional dapat tercukupi.
“Kebutuhan daging, terutama daging sapi untuk tahun 2015 ini sekitar 545,29 ribu ton dimana sekitar 20 persennya masih di Impor. Diharapkan dengan adanya program Sentra Peternakan Rakyat, akan memenuhi tujuan produksi daging sapi, daya saing, serta kesejahteraan para peternak daging sapi,” tutur Tri Hartini.
Pihaknya menyayangkan, usaha pembibitan sebagai basis industri sapi potong pada faktanya tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Secara ekonomi, tambah dia, usaha pembibitan serta pembesaran bakalan sapi potong belum mampu menawarkan insentif pada peternak atau pelaku usaha lainnya dibandingkan dengan usaha penggemukan. Karakteristik pembibitan dan pembesaran yang memiliki siklus produksi yang relatif panjang menyebabkan pengembalian (turn over) usaha ternak menjadi realtif rendah.
Sementara itu, Ketua Ikatan Alumni Lemhannas RI XLIX (IKAL 49) Boedhi Setiadjid mengatakan bahwa di tataran nasional, permasalahan tata niaga daing sapi harus fokus dan konsisten diindikasikan melalui tingginya harga daging di tingkat konsumen. Hal itu disebabkan karena sistem logistik nasional di Indonesia yang masih perlu masih dibenahi.
“Memang untuk saat ini, dalam prakteknya secara ekonomis, akan lebih murah mengimpor daging atau bakalan sapi dari Australia dibandingkan mendatangkannya dari NTT, NTB atau sentra ternak lainnya,” kata Boedhi.
Menurutnya, pemerintah harus segera mempercepat pembangunan infrastruktur dan memperkuat dukungan sistem logistik nasional. Beberapa hambatan lain, seperti optimalisasi angkatan laut dan pembatasan penggunaan kereta api sebagai sarana angkut harus dapat dimaksimalkan. Selain itu, adanya kuota pengeluaran sapi yang membatasi sapi keluar dari provinsi tertentu sebaiknya segera diselesaikan dengan jalan keluar yang tepat. (*) Ria Martati