Poin Penting
- 48% perusahaan RI khawatir soal keamanan siber, jadi hambatan utama adopsi AI dan otomatisasi.
- Kurang dari 5% anggap AI sangat berguna di 2025, namun meningkat jadi 35% untuk 2028.
- Keterbatasan SDM dan anggaran jadi tantangan utama, HSBC fokus dorong digitalisasi bertahap sebelum penerapan AI.
Jakarta - Di tengah kemajuan era digital, masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum menerapkan teknologi otomatisasi dan artificial intelligence (AI). Fakta ini terungkap dalam survei terbaru HSBC bertajuk “Redifining Treasury Asia Pasific: Voices of Treasury Report 2025”.
Dalam survei yang dilakukan terhadap nasabah korporasi HSBC, 48 persen dari 29 responden di Indonesia menyatakan kekhawatiran terhadap sistem keamanan siber dalam penerapan teknologi otomatisasi dan AI.
Faktor tersebut dipandang sebagai tantangan utama dalam mengimplementasikan teknologi tersebut pada sistem operasional maupun layanan perusahaan.
Baca juga: Riset HSBC: Emas dan Kripto Jadi Pilihan Utama bagi Affluent Investor Indonesia
Persentase tersebut merupakan yang tertinggi di antara negara-negara Asia Pasifik. Selain keamanan siber, tantangan lainnya meliputi:
- Persetujuan anggaran untuk inovasi dan pemeliharaan teknologi (34 persen)
- Kapasitas skill SDM yang terbatas (31 persen)
- Meyakinkan stakeholder atas manfaat inovasi teknologi (31 persen)
- Kesulitan menemukan solusi teknologi yang sesuai kebutuhan (17 persen)
Persepsi terhadap AI Masih Minim di Indonesia
Di samping itu, survei juga menunjukkan bahwa dari 28 responden di Indonesia, kurang dari 5 persen menganggap teknologi AI akan sangat berguna (extremely useful) dalam pengelolaan keuangan perusahaan pada 2025. Namun, angka ini meningkat menjadi 35 persen untuk proyeksi 2028.
Lalu sebanyak 35 persen lainnya menilai AI akan sangat berguna (very useful) pada 2025, dan lebih dari 35 persen berpendapat demikian untuk 2028.
Baca juga: Studi IBM: Adopsi Teknologi AI di RI Terkendala Infrastruktur, Keamanan Data, dan Talenta
Sementara itu, pada bagian lain survei yang melibatkan 26 responden, serangan siber atau cyberattacks disebut sebagai risiko ketiga terbesar yang diantisipasi oleh nasabah korporasi dalam 12 bulan mendatang. Dua risiko utama lainnya adalah:
- Volatilitas pasar keuangan
- Pelemahan akibat resesi
Risiko lainnya mencakup gangguan rantai pasok, kebijakan negara, dan risiko pihak ketiga keuangan (financial counterparty).
Digitalisasi Keuangan di RI Masih Tertinggal
Menanggapi hasil survei, Head of Global Payments Solutions HSBC Indonesia, Anne Suhandojo, menilai bahwa digitalisasi pengelolaan keuangan di perusahaan-perusahaan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain.
“Di negara-negara lain yang mungkin lebih maju (digitalisasi keuangan), ketersediaan human resource, kesiapan industrinya itu sudah jauh lebih siap,” ujar Anne saat ditemui dalam acara media briefing survei HSBC di Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025.
Baca juga: Bank Perlu Arsitektur Real-Time untuk Perkuat Layanan Digital
Ia mencontohkan bahwa banyak perusahaan retail di Indonesia masih menjalankan sistem operasional secara manual. Hal ini berbeda dengan kondisi di Singapura dan Hong Kong, di mana transaksi dan pengelolaan keuangan sudah sepenuhnya digital.
“Jika perusahaan ini bergeraknya di Hong Kong atau Singapura, atau di negara-negara lebih maju, penerimaan mereka semua mungkin sudah digital. Jadi, sudah bank transfer semua, rekonsiliasi sudah semuanya otomatis. Sedangkan pembayaran, di kita masih ada yang buka cek atau giro, kalau tidak begitu, tidak dipercaya,” jelasnya.









