Jakarta – Pemerintah diminta mengevaluasi stok beras yang sudah tidak layak di Bulog. Dikhawatirkan jumlah yang harus didisposal atau dibuang mencapai lebih dari 20.000 ton. Ketidakseimbangan beras masuk dan keluar dinilai bukan disebabkan suplai yang kelewat banyak.
Menteri Pertanian (Mentan) Periode 2004-2009 Anton Apriyantono menilai, menumpuknya beras di Bulog bukan karena impor. Sebab, cadangan beras pemerintah (CBP) memang seharusnya mencapai lebih dari 2 juta ton, dan Bulog juga ikut serta dalam pengambilan keputusan impor beras.
Menurutnya, besarnya jumlah disposal disebabkan penyaluran yang terlambat. Sebaliknya, ia mempertanyakan manajemen penyaluran beras yang dilakukan Bulog. “Outnya terlambat. Sekarang programnya seperti apa? Kenapa enggak disalurkan itu beras?” ujar Anton dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 5 Desember 2019
Ia menegaskan, jumlah beras rusak yang begitu besar bukan disebabkan oleh keputusan impor. Sebab dalam pengambilan keputusan impor, biasanya didahului dengan laporan Bulog akan cadangan di seluruh gudangnya sebagai bahan perhitungan. Dari situ dapat diketahui jumlah total CBP sekaligus berapa lama stok beras itu cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dirinya menyimpulkan, persoalan yang dihadapi Bulog saat ini adalah dari segi penyalurannya. Semestinya, jika beras tersebut dialokasikan untuk raskin, kebutuhan pasca bencana, atau operasi pasar, tak ada masalah penumpukan. Jumlah 2 juta ton disebut Anton, adalah jumlah stok minimal yang harus ada di gudang Bulog.
Ia mengungkapkan, bahwa Bulog sejauh ini belum pernah memusnahkan stok beras yang rusak. “Belum pernah terjadi seperti ini. Dulu kan seimbang antara yang masuk dengan yang keluar,” jelas Anton.
Pengamat Pertanian Dwi Andreas pun sependapat. Dirinya mengemukakan, ada yang salah dengan manejemen arus beras di Bulog. Hingga 31 Oktober, jumlah cadangan beras Bulog hanya mencapai 2,29 juta ton. Sebanyak 20.000 ton yang dimusnahkan merupakan beras lama yang telah disimpan lebih dari satu tahun, dan tidak disalurkan secara baik.
“Saya pastikan akan lebih dari 20 ribu. Berarti kan disana first in first out ada yang salah. Managemennya ada yang salah,” ungkap Dwi Andreas yang juga Guru Besar IPB.
Menurutnya, wajar jika perusahaan yang berdagang komoditas pertanian melakukan disposal. Sebab komoditas pertanian memiliki masa layak dengan jangka waktu tertentu. Barang dengan kualitas yang menurun tak boleh diperjualbelikan. Perlakuan sama juga terjadi pada perdagangan komoditas makanan olahan.
Namun, disposal mestinya tak berjumlah lebih dari 1% dari total barang yang dijual perusahaan. Malah akan lebih baik jika disposal tak melebihi 0,5%. Jumlah disposal yang besar menandakan sistem manajemen dan penyimpanan stok yang tak efektif serta efisien.
Dwi berpendapat kualitas beras yang masuk ke gudang Bulog perlu diperhatikan. Pasalnya, beras rusak yang bakal didisposal ini berasal dari serapan dalam negeri, yang saat ini jumlahnya masih sekitar 1 juta ton. Sedangkan beras eks impor punya kadar air rendah, sehingga lebih tahan lama. Resiko kerusakannya hanya 5%.
“Pada kepemimpinan Kementan sebelumnya Bulog dipaksa beli gabah juga, kan. Akhirnya dapat gabah dan beras yang kualitasnya enggak begitu bagus. Kalau kualitasnya enggak bagus, jangankan setahun, dua bulan aja sudah rusak,” lanjutnya.
Dwi juga menilai, Bulog pun tidak boleh menagih kerugian senilai Rp160 miliar dari 20.000 ton beras rusak. Sebab itulah risiko yang mestinya diperhitungkan sejak awal. “Dalam tata kelola pangan apapun kalau kita melakukan perdagangan pangan, disposal itu masuk dalam risiko. Dalam mitigasi risiko, disposal harus sudah masuk dalam cost,” jelas dia.
Sementara itu, terkait cadangan beras pemerintah sebanyak 20.000 ton yang akan dilelang itu tengah dikaji. “Akan dilihat lagi oleh Menteri Keuangan, dan akan ditentukan berapa nilainya dari pentahapan hasil pemeriksaan dari laboratorium, termasuk dari BPOM, dan rekomendasi berkaitan dengan selisih harga Cadangan Beras Pemerintah,” tegas Dirut Bulog, Budi Waseso.
Stok beras tersebut awalnya bernilai Rp160 miliar, dengan rata-rata harga pembelian di petani Rp8.000 per kilogram. Beras menumpuk tersebut menurut Buwas, adalah beras untuk program bantuan sosial pada 2017 yang telah disimpan di sejumlah daerah, namun pemberiannya dibatalkan. (*)