Jakarta – Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI saat ini menjadi bukti adanya praktik-praktik penambangan tidak berizin atau illegal mining yang marak terjadi di Indonesia.
Pendiri Deolipa Yumara Institut, Kajian Hukum & Psikologi, Deolipa Yumara mengungkapkan, pertambangan ilegal atau penambangan tanpa izin yang resmi sangat banyak ditemukan Indonesia. Utamanya di Kalimantan.
“Kondisi memprihatinkan ini belum menjadi perhatian serius pemerintah maupun pemangku kebijakan. Padahal, dampak akibat tambang ilegal menimbulkan kerugian yang besar ditinjau dari berbagai aspek, yang utamanya adalah kerusakan lingkungan,” kata Deolipa dalam keterangannya dikutip, Senin 1 April 2024.
Baca juga: Korupsi Timah Rugikan Negara Lebih dari Rp271 T?
Deolipa pun menyoroti klaim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang telah menetapkan sebanyak 1.215 tambang menjadi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Surat Keputusan tentang WPR yang diberi izin per provinsi telah diteken oleh Menteri ESDM pada 21 April 2022 lalu. Disebutkan, WPR secara nasional yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 WPR dengan total luas wilayah seluas 66.593,18 hektar.
Tercatat ada 19 provinsi yang memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dengan jumlah blok dan luas yang beragam, yaitu Banten (1 WPR) dengan luas 9,71 hektare; Bangka Belitung (123 WPR) 8.568,35 hektare; Yogyakarta (138 WPR) 5.600,05 hektare; dan Gorontalo (63 WPR) 5.502,42 hektare.
Kemudian Jambi (117 WPR) 7.030,46 hektare, Jawa Barat (73 WPR) 1.867,22 hektare, Jawa Timur (322 WPR) 6.937,78 hektare, Kalimantan Barat (199 WPR) 11.848 hektare, Kepulauan Riau (4 WPR) 127,04 hektare, Maluku (2 WPR) 95,21 hektare dan Maluku Utara (22 WPR) 315,9 hektare.
Lalu, Nusa Tenggara Barat (60 WPR) 1.469,84 hektare, Papua (25 WPR) 2.459,16 hektare, Papua Barat (1 WPR) 3.746,21 hektare, Riau (34 WPR) 9.216,96 hektare serta Sulawesi Tengah (18 WPR) 1.407,58 hektare. Berikutnya, Sulawesi Utara (1 WPR) 30,86 hektare, Sulawesi Barat (3 WPR) 24,91 hektar dan Sulawesi Utara (9 WPR) 335,5 hektare.
Deolipa menyebut, ribuan hektare tambang yang telah ditetapkan Kementerian ESDM sebagai WPR sebagian besarnya hanya tambang pasir dan emas. Di sisi lain, belum ada pemberian izin terhadap wilayah pertambangan rakyat khususnya terhadap tambang rakyat yang menambang batubara atau nikel.
“Jadi pemerintah khususnya kementerian ESDM tampaknya telah lalai, tidak memperhatikan atau terkesan menganaktirikan tambang rakyat di segmen penambangan batubara, dengan tidak adanya penerbitan izin WPR untuk khusus tambang batubara,” kata Deolipa.
Hal ini, kata Pengacara asal Universitas Indonesia itu, menimbulkan banyaknya tambang liar batubara sebagaimana yang terjadi di Kalimantan. Pertambangan ilegal ini dilakukan oleh beberapa kalangan rakyat “petani” yang diduga dibantu secara diam-diam oleh para pemodal besar.
Baca juga: Daftar Kekayaan Harvey Moeis, Suami Sandra Dewi yang Tersandung Dugaan Korupsi Timah Rp271 T
“Di wilayah Kalimantan Timur sampai saat ini marak terjadi penambangan batubara tanpa izin, terutama tambang liar yang koridoran yang dilakukan oleh beberapa kelompok rakyat lokal. Hal ini terjadi utamanya karena negara khususnya kementerian ESDM lalai mewadahi atau tidak memperhatikan hak hidup tambang rakyat di segmen batubara,” imbuhnya.
Secara khusus di sektor pertambangan timah, baru-baru ini Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut dugaan tindak pidana ilegal mining yang melibatkan nama-nama pesohor. Suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, menjadi salah satu nama terbaru yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Selain itu, ada pula nama Helena Lim yang dikenal publiks sebagai “crazy rich” Pantai Indah Kapuk (PIK). Korupsi ini juga menjadi perbincangan karena nilai kerugiannya yang fantastis, mencapai Rp271.069.688.018.700 atau Rp271 triliun. (*)
Editor: Galih Pratama