Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
HADIRNYA Satgas BLBI boleh jadi bak sosok pahlawan “kesiangan”. Satgas BLBI akan memburu aset-aset 48 obligor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jumlahnya Rp110 triliun, atau tidak sampai 20% dari biaya krisis sebesar Rp640,9 triliun. Atau, 70% dari PDB dan waktu itu ekonomi minus 13,1%.
Dana yang digelontorkan sebesar Rp640,9 triliun. Perinciannya, untuk program BLBI sebesar Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp20 triliun, dan program rekapitalisasi Rp422,6 triliun. Jadi, harusnya tidak hanya BLBI yang difokuskan, tapi juga penerima kredit dari bank-bank pelat merah waktu itu. Bank pelat merah tidak menerima BLBI tapi menelan obligasi rekap.
Nama-nama besar itu, seperti Grup Bakrie, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), Suyanto Gondokusumo, Kaharudin Ongko, dan sejumlah nama besar lain. Katanya ada 48 obligor penerima BLBI. Dan, itu katanya yang akan diburu. Entah siapa lagi yang akan menjadi tontonan publik yang akan disiarkan asetnya disita.
Bayangkan seandainya tidak ada kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan program rekapitalisasi. Kita tidak punya Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, BCA, Danamon, PermataBank, CIMB Niaga, dan sejumlah bank pemerintah daerah (BPD). Hanya PaninBank satu-satunya bank BUKU 4 yang tidak menerima bantuan pemerintah.
Adakah alternatif kebijakan lain dalam menyehatkan bank-bank ketika krisis perbankan 1997/1998? Kendati demikian, kebijakan BLBI juga menjadi catatan hitam perbankan, tapi itulah kebijakan yang harus diambil waktu itu. Jangan sampai kebijakan masa lalu dilihat dengan kacamata sekarang.
Sejak pemerintahan Soeharto, B.J. Habibie, Abdurachman Wahid, dan Megawati telah dibuat kebijakan penyehatan perbankan. Pada masa pemerintahan Soeharto dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Januari 1998.
Pada 2000 disahkan Undang-Undang (UU) Nomor 25/2000 tentang Propenas, yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian penalti kepada obligor yang tidak kooperatif.
Sejak 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan – terutama terkait dengan pengambilalihan aset-aset obligor serta penjualan aset. Ditetapkan TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas.
Jadi, hadirnya Satgas BLBI dapat langsung mengeksekusi aset-aset obligor yang tidak kooperatif. Langsung sikat dan tidak ada negosiasi lagi. Aneh saja, sudah 17 tahun masih mau negosiasi. Pertanyaannya, selama 17 tahun di DJKN Depkeu (Kemenkeu) diapain aja, kok seperti “koma” berkepanjangan. Hadirnya Satgas BLBI selain tidak konsistennya pemerintah, juga menandakan bahwa selama ini kinerja penagihan kurang maksimal. Memble.
Sementara, yang sudah kooperatif dan sudah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) jangan “diobok-obok” lagi. Biarkan mereka berbisnis kembali sesuai dengan tujuan pemulihan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja serta membayar pajak dengan benar. Jangan diganggu lagi.
Janjinya pemerintah waktu itu, yang kooperatif dianggap selesai, sementara yang tidak kooperatif masuk jalur pidana dan diurus Kejaksaan Agung RI. Selama ini memang sudah pernah ada beberapa penerima BLBI, tapi tidak satu pun kena hukuman pidana. Aneh.
Sri, kapan uang BLBI kembali? Sri Mulyani Indrawati merupakan Menteri Keuangan RI paling lama menjabat, selama kurun waktu 17 tahun – di mana aset-aset para obligor dicatat di DJKN. Seandainya BPPN dan PPA berhasil mengembalikan 33% dari biaya krisis.
Semua berharap hasil “pampasan” Satgas BLBI bisa lebih besar dari itu. Semua berharap Satgas BLBI ini berhasil, dan “opera sabun” BLBI tidak menjadi reklame semata, apalagi mainan politik. Lalu, ada pertanyaan, apa kabarmya “pampasan” aset 16 bank yang dibekukan lebih awal tahun 1997? Jadi “batu” atau jadi apa tidak ada yang tahu.
Satgas BLBI harus konsisten terhadap kebijakan yang sudah diambil sebelumnya, terutama penyehatan perbankan, baik lewat BLBI maupun obligasi rekap. Tidak boleh mencla-mencle. Harus tegas, meski jujur saja kebijakan BLBI dan rekap perbankan berhasil mengembalikan kondisi ekonomi seperti tujuan awal. (*)