Sidang BLBI: Keamanan Jadi Pertimbangan Hapus Buku Utang Petani Dipasena

Sidang BLBI: Keamanan Jadi Pertimbangan Hapus Buku Utang Petani Dipasena

Jakarta — Mantan Sekretaris Negara Prof. Bambang Kesowo mengakui bahwa keputusan penghapusan utang petani tambak utang di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI diambil pada saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004 yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Namun menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keungan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI, tapi atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.

“Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagenda bukan atas usulan KKSK, tapi oleh aparat keamanan dan intelijen,” kata Bambang dalam kesaksiannya di sidang lanjutan SKL dengan terdakwa Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/8).

Dalam penjelasannya, Bambang mengatakan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan berat karena devaluasi Rupiah yang membuat utangnya membengkak dan ditambah suku bunga yang amat tinggi terus berjalan, sehingga mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit mereka ke bank. Inilah yang membuat petani resah hingga menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi dan dikhawatirkan berpotensi kerusuhan menjadi semakin meluas di tengah krisis saat itu. Atas pertimbangan itulah, kemudian aparat keamanan meminta ada sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini.

“Jadi rapat itu tidak ada kaitannya dengan penyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan,” kata Bambang.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam rapat itu dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar lebih dari 11.000 orang petani tambak ini. Disadari, bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya. Caranya adalah dengan menghapus-bukukan sebagian kewajiban utang petani tersebut, sehingga kewajibannya pada saat itu dari Rp3,9 triliun menjadi Rp1,1 triliun atau masing-masing menjadi Rp100 juta per orang.

Menurut Bambang, sesuai dengan kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu yaitu bank beku operasi (BBO), bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi. Namun dalam hal petani tambak ini, keputusan write off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa Yusri Ihza Mahendra tentang apakah Presiden Megawati pada saat itu menyetujui keputusan write off utang petani tambak ini, Bambang mengatakan, dalam pemahamannya yang hadir dalam rapat itu, presiden menyetujui. “Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat ‘silakan dilanjutkan’, dan menurut saya itu adalah satu persetujuan,” kata Bambang.

Dalam penjelasannya Bambang juga menegaskan bahwa kehadiran BPPN, perjanjian MSAA dan berbagai tindakan yang diambil didasarkan kesadaran pemerintah saat itu bahwa berbagai instrumen keuangan yang telah digunakan tidak mampu mengatasi krisis keuangan 1997-1998. Sehingga untuk itu diperlukan satu kebijakan yang pamungkas yaitu mengeluarkan kebijakan blanket guarantee terhadap semua dana masyarakat di perbankan, mendirikan badan khusus yaitu BPPN dan melakukan perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan pemilik bank dengan skema out of court settlement melalui perjanjian yang dikenal Master Settlement and Acquisition Agreement (MSSA). Di antara pemilik bank yang menandatangani MSAA adalah Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Bob Hasan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (RSI).

“Disain kebijakannya memang begitu, karena inilah yang dinilai bisa menjadi senjata pamungkas dalam menangani krisis ekonomi saat itu agar tidak semakin dalam,” kata Bambang.
(*)

Related Posts

News Update

Top News