Jakarta – Indonesia sebentar lagi akan punya presiden dan wakil presiden baru, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, pemerintah Indonesia memiliki target untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen.
Namun begitu, target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen itu sepertinya tak semudah itu untuk tercapai. Sejumlah permasalahan menghantui target tersebut, salah satunya penyusutan jumlah penduduk kelas menengah (middle class) dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Data LPEM FEB UI menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia tercatat 52 juta di 2023, atau menyusut 8,5 juta dari 60 juta pada 2018. Menurut Asian Development Bank (ADB), kelas menengah sendiri adalah mereka dengan pengeluaran USD2 – 20 per hari atau Rp34.000 – Rp340.000 (kurs Rp16.000/USD1).
Sedangkan menurut Bank Dunia, proporsi kelas menengah di Indonesia pada 2018, sebesar 23 persen dari jumlah penduduk, sedangkan 2019 tersisa 21 persen seiring membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47 persen menjadi 48 persen.
Pada 2023, proporsi kelas menengah turun lagi menjadi 17 persen, AMC naik menjadi 49 persen, dan kelompok rentan meningkat menjadi 23 persen.
Menanggapi permasalahan yang ada, Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Laode M. Kamaluddin menyampaikan jika pemerintahan Prabowo Subianto akan fokus pada generasi muda Indonesia. Menurutnya, tongkat estafet Indonesia Emas 2045 berada di pundak generasi muda.
“Yang kita pikirkan itu sebetulnya adalah anak-anak SMP sampai perguruan tinggi yang mengantarkan Indonesia sampai 2045,” tegas Laode di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Baca juga: Kadin Ungkap Tiga Sektor ‘Emas’ Pendorong Ekonomi RI, Apa Saja?
Ia melanjutkan bahwa pihaknya akan mendesain ekonomi nasional untuk ditujukan bagi generasi muda dari ekonomi kelas menengah melalui pasar karbon. Menurutnya, pasar karbon di Indonesia memberikan peluang besar bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ia katakan bahwa pihaknya banyak melakukan sosialisasi dan mendorong pihak developer atau pengembang yang didominasi generasi muda mengenai potensi pasar karbon di Indonesia.
“Kerentanan dari kelas menengah yang secara perekonomiannya berat saat ini itu karena kita semua masih analog berpikirnya,” jelas Laode.
Potensi pasar karbon nasional nantinya akan ditopang oleh pola pikir rural bias education atau pendidikan yang lebih memerhatikan desa serta rural industrialisation yang berdasarkan sumber daya alam.
“Dengan ini kita terikat pada environment, social, and governance. Perguruan tinggi dengan digital, AI digital simulator system, maka semua informasi di sistem itu sudah masuk semua ke mereka (developer). Pada dasarnya permainan bukan didata, tapi di informasi bisnisnya,” terangnya.
Pasar karbon adalah praktik jual-beli sertifikasi atau izin untuk menghasilkan emisi karbon dioksida atau CO2 dalam jumlah tertentu. Sertifikasi atau izin pelepasan karbon itu disebut juga kredit karbon (carbon credit) atau kuota emisi karbon (allowance).
Satu kredit karbon setara dengan pengurangan atau penurunan emisi sebesar satu ton CO2. Emisi CO2 dihasilkan oleh antara lain pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, gas dan minyak bumi), pembakaran hutan, dan pembusukan sampah organik.
Mekanisme perdagangan karbon adalah satu dari tiga cara penurunan emisi yang ditetapkan oleh perjanjian iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Protokol Kyoto, pada 11 Desember 1997.
Pembeli kredit karbon adalah industri, negara atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi energi dalam jumlah besar. Misalnya, pabrik baja, pembangkit listrik batu bara (PLTU) atau pembangkit listrik gas, pusat data (data center) dan sektor transportasi.
Baca juga: Bambang Brodjonegoro Ungkap Prospek dan Tantangan Ekonomi RI di Tengah Ketidakpastian Global
Para penjual kredit karbon adalah perusahaan atau negara yang kegiatannya mampu menyerap emisi CO2 atau yang kegiatannya menghasilkan sedikit sekali CO2. Contohnya antara lain, perusahaan konservasi hutan; pembangkit energi terbarukan – pembangkit tenaga surya PLTS, pembangkit tenaga bayu (PLTB), atau kegiatan pengolahan sampah organik.
Tujuan sertifikasi adalah untuk memastikan penjual kredit karbon berkomitmen pada pengurangan emisi dari hasil penjualan. Misalnya, perusahaan konservasi hutan tidak menggunakan dana hasil penjualan kredit karbon untuk mengubah lahan hutan menjadi perkebunan sawit yang justru menghasilkan emisi CO2.
Berdasarkan data McKinsey 2023, demand pasar karbon internasional akan meningkat 29 persen per tahun sampai 2030, serta meningkat lagi hingga 2050. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan supply nature-based solution terbesar di dunia yang terdiri atas daratan dan perairan.
Sementara itu, total target pengurangan emisi per tahun ditaksir mencapai 5,88 miliar ton CO2. Di Indonesia, harga rata-rata kredit karbon saat ini adalah 5 USD/t CO2 e. (*) Steven Widjaja