Indonesia seharusnya bersaing dengan semua negara anggota MEA, kecuali dengan Brunei Darussalam yang memiliki keunggulan sangat berbeda. Sebagai anggota terbesar, Indonesia mestinya menunjukkan sikap leadership-nya. Harry Puspito
Jakarta–Waktu berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) makin dekat, yaitu akhir 2015. Dalam waktu yang mepet itu tentu akan terjadi arus barang dan jasa yang secara bebas diperdagangkan dalam lingkungan anggota-anggota MEA. Tenaga kerja dari satu negara bisa memasuki negara lain untuk mencari prospek kerja yang lebih baik. Persyaratan mempekerjakan tenaga asing akan dihapuskan sehingga akan tercipta lapangan kerja yang besar tapi juga supply tenaga kerja yang besar, baik tenaga kerah biru maupun kerah putih.
Bagaimana dengan kesiapan bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota komunitas yang akan terbentuk? Sebagai anggota terbesar di antara anggota MEA yang akan menyatukan 10 negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Brunei Darussalam, Laos, Myanmar, dan Kamboja, seharusnya Indonesia menunjukkan sikap leadership-nya.
Bagi setiap negara, penyatuan ini membawa peluang dan ancaman dari negara-negara lain, baik dalam kompetisi pasar produk, pasar jasa, maupun pasar tenaga kerja. Dalam masyarakat yang beragam, sudah barang tentu pandangan berbagai kelompok masyarakat juga bisa beragam. Sementara itu, posisi daya saing Indonesia di antara ke-10 anggota masih jauh dari posisi “leading”, yaitu posisi keenam. Dengan jumlah penduduk yang paling banyak, sekitar separuh dari jumlah penduduk ASEAN, Indonesia akan menjadi pasar yang menarik dan rentan menjadi sasaran penetrasi pasar negara-negara lain.
Daripada ribut satu sama lain, para pemimpin negara ASEAN perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam waktu yang masih ada. Waktu tidak banyak lagi. Karena itu, penulis percaya dalam tahun-tahun awal penyatuan, Indonesia harus terus bekerja keras dalam menyambut dan memanfaatkan potensi-potensi MEA bagi kesejahteraan bersama, khususnya bangsa Indonesia.
Satu bagian dari “Social Monitor Marketing Research Indonesia (MRI) 2015” mempertanyakan tema ini. Survei ini mewawancarai 100 sampel, pria dan wanita dewasa, berusia 21 tahun ke atas dari kelas sosial ekonomi ABC+ dari Jakarta, dengan menggunakan Computer Aided Telephone Interview (CATI). Tujuan survei ini ialah mengamati tren yang terjadi di masyarakat dan tidak dimaksudkan untuk membaca situasi nasional Indonesia.
Mengenai MEA, pertanyaan pertama ialah sudah berapa banyak masyarakat yang mengetahui atau memiliki kesadaran mengenai MEA? Hasil survei menunjukkan makin banyak masyarakat, yaitu mayoritas, yang tahu tentang MEA (72%). Tingkat pengenalan masyarakat terhadap MEA sudah cukup tinggi di semua kelompok demografis, walaupun ada sedikit perbedaan. Misalnya, orang dewasa pria tampak lebih banyak yang mengetahui MEA ketimbang para wanita.
Dari kelompok usia, mereka yang berusia paling tinggi, yaitu 41-55 tahun, menunjukkan tingkat pengenalan yang lebih tinggi daripada mereka yang lebih muda. Dari sisi segmen sosial ekonomi, walaupun tidak sangat tajam, segmen pengeluaran rumah tangga yang lebih tinggi cenderung memiliki kesadaran akan MEA yang lebih tinggi juga. Dari sisi pendidikan, tampak bahwa kesadaran terhadap MEA jelas lebih tinggi di antara mereka yang telah lebih lama mengenal pendidikan formal.
Bagaimana dengan kelompok pekerjaan? Ternyata mereka yang bekerja sendiri menunjukkan tingkat pengenalan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan segmen-segmen lain. Para wirausaha ini tampaknya paling perhatian terhadap situasi makro yang berubah yang akan memengaruhi usaha kecil atau menengah mereka. Kelompok masyarakat inilah yang lebih aware mengenai MEA.
Negara-negara mana yang dipersepsi masyarakat akan menjadi anggota MEA? Menarik bahwa dari 10 anggota ASEAN, ternyata tingkat keanggotaannya dengan MEA sangat beragam. Yang tertinggi yaitu Indonesia (71%), lalu disusul Malaysia dan Singapura (54%, 52%) dan Laos dan Myanmar (11%, 9%) sebagai yang terendah. Kedua negara pertama itu, Malaysia dan Singapura, tidak saja paling dekat secara geografis, tapi juga memiliki hubungan-hubungan historis maupun sosial ekonomi yang paling dekat dengan Indonesia.
Tidak sampai 100% masyarakat yang menyebutkan Indonesia sebagai anggota MEA menunjukkan bahwa pengetahuan mereka mengenai partisipasi Indonesia ke dalam MEA masih memerlukan banyak usaha pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat. Ketika banyak negara ASEAN tidak diketahui oleh banyak orang akan menjadi bagian dari MEA, di samping mendukung urgensinya program sosialisasi ini, juga menimbulkan pertanyaan, sebenarnya masyarakat kita tahu tidak ASEAN dan anggota-anggotanya. Situasi yang memprihatinkan tentunya, walaupun tidak separah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak tahu isi lengkap Pancasila. Ternyata masyarakat banyak yang tidak tahu dan familier dengan negara-negara, yang tidak saja tetangga, tapi juga akan segera menjadi bagian dari komunitasnya.
Dalam hal ini, responden juga diminta menyebut satu sektor unggulan tiap-tiap negara anggota MEA atau ASEAN itu. Dari kesediaan mereka memberikan persepsi, tampak tingkatannya beragam. Yang paling kuat ialah Indonesia yang disusul Singapura (96%, 94%); lalu Malaysia dan Brunei (80%, 79%); dan Laos, Myanmar, serta Kamboja (53%, 50%, 44%) sebagai yang paling rendah.
Walaupun hampir semua responden menyebutkan suatu keunggulan Indonesia, ternyata persepsi masyarakat tampak beragam. Dengan beda sedikit, Indonesia paling dipersepsikan masih sebagai negara agraris (25%). Berikutnya masyarakat melihat Indonesia sebagai negara pariwisata (22%). Indonesia juga dipandang sebagai negara pendidikan (19%).
Singapura paling dikenal sebagai negara perdagangan (36%), di samping pariwisata (24%) dan pendidikan (16%), tapi jelas bukan negara agraris. Malaysia terutama dilihat unggul dalam hal pariwisata (26%), walaupun juga kuat dalam hal perdagangan (20%). Cukup banyak juga yang melihatnya sebagai negara yang unggul dalam hal pendidikan (15%). Brunei Darussalam dipandang sebagai negara yang kuat dalam hal perdagangan (21%), tapi secara khusus dilihat punya kekuatan di industri migas (15%). Thailand sangat menonjol dalam hal pariwisata (24%) ketimbang sektor-sektor lain. Semua negara lain, yaitu Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos, lebih dilihat responden sebagai negara agraris, kecuali Filipina yang kuat dalam hal pertanian dan pariwisata.
Secara keseluruhan responden melihat negara-negara ASEAN ini sebenarnya memiliki kemiripan dalam keunggulan-keunggulan mereka. Negara yang paling unik ialah Brunei Darussalam, satu-satunya negara yang paling dikaitkan dengan industri migas. Jika dibandingkan dengan Brunei Darussalam, negara-negara lain secara umum dilihat mirip. Perbedaan yang tidak begitu kuat memisahkan negara-negara agraris-maritim, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar versus dengan negara Singapura dan Malaysia, yang bukan negara agraris tapi unggul dalam pariwisata, perdagangan, dan ekonomi. Sementara itu, Indonesia dan Filipina tidak menampilkan keunikan dalam keunggulan kompetitifnya.
Ketika ditanyakan secara langsung mengenai negara kompetitor utama Indonesia, tampaknya masyarakat melihat Malaysia adalah yang utama (42%) disusul Singapura (29%). Jika dianalisis dari persepsi keunggulan-keunggulan relatif masing-masing negara, Indonesia seharusnya bersaing dengan semua negara, kecuali dengan Brunei Darussalam yang memiliki keunggulan sangat berbeda, yaitu dalam industri migas.
Namun, tampaknya persepsi mengenai kompetisi Indonesia dengan kedua negara itu tidak dilihat dari sisi keunggulan-keunggulan industri, tapi lebih karena faktor-faktor historis dan politis, mungkin juga geografis. Jelas pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis dan mendesak untuk memperkenalkan masyarakat terhadap sosial budaya dan potensi-potensi setiap anggota MEA jika ingin memaksimalkan peranannya dalam komunitas ekonomi yang menjanjikan ini.
Penulis adalah Presiden Direktur Marketing Research Indonesia (MRI).