Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
TIDAK ada gonjang-ganjing. Juga, tidak ada diskusi publik yang hangat ketika Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) lolos dari DPR RI dan disahkan menjadi undang-undang (UU), yakni UU P2SK. Hal itu berbeda dengan pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Padahal, UU P2SK ini menyangkut “jantung” sektor keuangan. Namun, sejatinya dalam peraturan turunannya dinilai “rawan”. Pihak-pihak, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), diminta koordinasi dengan DPR dalam membuat peraturan.
Aneh. Tidak lazim. Ini ‘kan peraturan teknis, bukan UU. Kok dikonsultasikan dengan DPR. Lebih aneh lagi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak masuk daftar yang diminta koordinasi dengan DPR – perlu diketahui, tahun 2023 merupakan tahun politik. Bisa jadi “zona rawan” terjadi ketika pembahasan peraturan karena pihak DPR RI diwajibkan terlibat.
Tahun pemilu tahun yang serbamungkin terjadi “tawar-menawar” dalam hal pembahasan pasal-pasal. Atau, paling tidak para anggota DPR RI bisa memasukkan pasal-pasal sendiri.
Entah ide dari mana ini. Atau, karena wakil pemerintah dalam hal ini Kemenkeu mau “menang” sendiri, tidak mau direpotkan atau tidak memahami. Bahkan, “tutup mata” dengan pasal-pasal yang harus dikoordinasikan dengan DPR dalam pembuatan peraturan. Atau, sepanjang tidak menyentuh Kemenkeu, silakan saja diketok.
Banyak perubahan yang terjadi dalam RUU P2SK yang baru disahkan menjadi UU P2SK di Sidang Paripurna, pekan lalu Kamis (15/12/2022). Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) tampak tersenyum menerima UU P2SK yang sudah diparipurnakan. Banyak perubahan. Misalnya, meski BI tetap independen, namun BI tak lagi terbatas waktu dalam burden sharing – yang sejatinya selesai akhir 2022 ini.
Juga, LPS yang akan menerima tugas baru, yaitu menjamin polis asuransi. Sementara, OJK akan mengawasi cryptocurrency. Akan mengawasi pula koperasi yang terbuka menerima dana masyarakat. Bahkan, jumlah komisioner juga ditambah. Beban berat pengawasan ada di OJK.
UU P2SK merupakan UU “sapu jagat”. Seluruh UU sektor keuangan dijadikan satu (omnibus law). Terdiri atas XXVII bab, dan 341 pasal. Beberapa substansi penting dalam RUU P2SK yang disepakati di antaranya adalah, pertama, penguatan dan keberlanjutan kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan jaring pengaman sistem keuangan.
Kedua, pengembangan dan penguatan industri sektor keuangan yang disertai dengan perluasan mandat dari BI, OJK, dan LPS. Ketiga, penguatan tata kelola lembaga keuangan dalam pelaporan, inovasi teknologi, literasi keuangan, dan penegakan hukum sektor keuangan.
Keempat, pengaturan mengenai konglomerasi keuangan, akses pembiayaan, dan inklusi keuangan. Kelima, memperkuat kegiatan usaha koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan syariah.
Keenam, UU P2SK tidak hanya akan memperluas mandat kelembagaan pengelola kebijakan moneter dan keuangan mencapai stabilitas makro, tapi juga berfungsi sebagai intermediasi sektor keuangan. Pengaturan UU P2SK dimaksudkan supaya terjadi sinergi yang lebih optimal dari lembaga-lembaga tersebut dalam mengelola penanganan dan pengembangan sektor keuangan di Indonesia.
Ada 17 Pasal Koordinasi yang Rawan
Sekilas UU P2SK ini baik-baik saja. Namun, jika mendengar dan melihat pembahasan RUU P2SK antara DPR RI dan Kemenkeu tampak dilakukan tergesa-gesa. Mengapa? Terkesan jika menyangkut bukan urusan Kemenkeu, maka dijanjikan koordinasi dengan DPR dengan pihak pembuat peraturan, misalnya OJK, BI, dan LPS.
Padahal itu tidak lazim. Tugas DPR ya membuat UU. Peraturan adanya di level teknis, seperti di LPS, BI, dan OJK, yang menjadi fokus utama pada UU P2SK ini. Pembahasan juga singkat, dan wakil pemerintah tampak cenderung menyetujui pasal-pasal dalam draf RUU P2SK ini.
Bahwa, BI, OJK, dan LPS juga perlu dikawal dalam membuat kebijakan – yang harus transparan dan tetap memperhitungan kepentingan industri. Kebijakan harus market friendly untuk memberi ruang lebar dan sekaligus dalam rangka pengawasan. Tidak hanya itu, BI, LPS, dan OJK tidak hidup di ruang hampa sehingga peraturan yang dikeluarkan untuk kepentingan seluruh stakeholder.
Menurut catatan Infobank Institute, ada 17 pasal yang harus dikoordinasikan dengan DPR. Perincian pasal-pasal yang perlu dikonsultasikan ada 17 pasal. BI ada dua pasal. LPS ada lima pasal. Dan, paling banyak menyangkut OJK, ada sepuluh pasal. Untuk BI, misalnya, soal mengenai Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) dan mengenai pengelolaan kekayaan BI yang diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur BI setelah dikonsultasikan dengan DPR.
Untuk LPS ada lima pasal yang harus dikonsultasikan dengan DPR, seperti penjaminan kelompok nasabah, kekayaan LPS, tata kelola dan menyangkut badan supervisi LPS seperti juga Badan Supervisi BI dan OJK.
Semantara, OJK merupakan lembaga yang paling banyak untuk konsultasi dengan DPR dibandingkan dengan BI dan LPS, seperti menyangkut iuran asuransi, kredit UMKM, bank digital, bank syariah digital, transparansi suku bunga, perdagangan karbon, spin off bank syariah, pemisahan asuransi syariah, serta tata kelola dan badan supervisi LPS.
Tentu bukan pasal-pasal itu yang menjadi masalah. Tapi, intinya, setiap membuat peraturan, OJK, BI, dan LPS harus mengonsultasikannya dengan DPR. Jujur, konsultasi itu tidak lazim terjadi dalam pembuatan UU.
Atau, bisa jadi agar RUU P2SK ini segera diketok. Kejar target, atau dalam masa pembahasan – pihak-pihak yang terkena dampak RUU P2SK ini kurang “memahami”? Pembahasan RUU P2SK yang singkat, tidak lebih dari enam bulan, adalah gambaran bahwa RUU P2SK kejar tayang. Apalagi, ada 17 pasal yang perlu dikonsultasikan dengan DPR RI. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan jika wakil pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu, kuat dalam pembahasan. Harusnya final sebagai UU, dan urusan teknis bukan lagi ke DPR.
Lolosnya 17 pasal yang dikonsultasikan dengan DPR semoga tidak barter dengan pasal yang menguntungkan pihak Kemenkeu, atau tidak terkait dengan Kemenkeu. Sikap masa bodoh atau tidak memahami napas sektor keuangan. Tidak mau repot. Itu kesan pertama jika melihat rekaman pembahasan, dan membuang yang rumit ke kata “konsultasi” ke DPR.
Konsultasi tidak bisa sekali. Bisa bolak-balik. Seperti mahasiswa konsultasi membuat disertasi, ya tidak mungkin sekali jadi. Juga, kalau mendengar kata “konsultasi” dari dokter terkadang juga tidak sekali. Seringnya bolak-balik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “konsultasi” artinya pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan (nasihat, saran, dan sebagainya) yang sebaik-baiknya. Namanya konsultasi ya bisa bolak-balik.
Adanya kewajiban konsultasi dengan DPR, bisa jadi UU P2SK ini sebenarnya belum tuntas. Padahal, sebenarnya UU P2SK ini yang menjadi hak inisiatif DPR relatif progresif dengan mengakomodasi industri. Hanya pasal konsultasi inilah yang membuat banyak kecurigaan. Tidak hanya kepada parlemen, tapi juga kepada Kemenkeu RI yang lolos dari ketentuan pembuatan kebijakan harus dikonsultasikan dengan DPR.
Konsultasi dengan DPR tidak selamanya harus dicurigai. Tidak selamanya “ada udang di balik batu”. Akan tetapi, periode konsultasi dalam kurun enam bulan ke depan, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Apalagi masa konsultasi ini akan dilakukan menjelang Pemilu 2024. Tahun 2023 sudah menjadi tahun politik. Jadi, bisa saja “kepentingan- kepentingan” partai politik bisa masuk ke area konsultasi.
Bayangkan! Jika kepentingan politik praktis dimasukkan dalam pembuatan POJK, atau PBI dan PLPS. Atau, yang paling mungkin adalah negosiasi kalimat dan kata dalam pasal yang artinya berbeda. “Tawar-menawar” pasal bisa saja terjadi dalam pembuatan peraturan ketika terjadi konsultasi. Harusnya pasal konsultasi tidak ada jika wakil pemerintah kuat. Setelah UU diketok seharusnya final.
“Tidak ada makan siang yang gratis.” Apalagi di tahun politik. Jangan sampai pasal-pasal konsultasi dimasuki pasal “hantu”. Jadi, ada baiknya kita semua ikut mengawasi dan memberi masukan dalam pasal konsultasi ini lebih terbuka – sesuai dengan tujuan UU P2SK sendiri yaitu pengembangan dan pengutan sektor keuangan. Ada baiknya berbagai pihak ikut mengawasi pasal-pasal yang masih prematur dengan tambahan kata “konsultasi”.
Kebijakan jangan dipolitisasi.