KOMARI Subakir boleh jadi kecewa. Bank Nusa Tenggara Barat (Bank NTB) yang pernah dipimpinnya mengalami penurunan kinerja setelah melakukan konversi menjadi bank umum syariah (BUS) tahun lalu. Padahal, di bawah kepemimpinannya pada 2009 hingga 2018, banyak prestasi diraih Bank NTB, hingga bank daerah ini menjadi benchmark BPD lain yang ingin belajar tentang budaya dan pelayanan prima. Bank NTB menutup kalender 2018 dengan penurunan pada seluruh indikator keuangannya, seperti aset, dana pihak ketiga (DPK), dan laba.
Sebagai seorang chief executive officer (CEO) yang sudah membuahkan hasil sepanjang kepemimpinannya pada 2009 hingga 2018, Komari pasti ingin penggantinya lebih baik daripada dirinya. Komari sudah menyiapkan kandidat, Achmad Syamsudin yang berasal dari Bank Syariah Mandiri (BSM). Dengan pengalamannya sebagai direktur BSM, Syamsudin dinilai cocok memimpin Bank NTB yang berubah menjadi BUS. Entah kenapa, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak meluluskan Syamsudin dalam fit and proper test padahal kemudian Syamsudin dipinang Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan untuk menjadi Direktur Utama (Dirut) Bank Sumsel Babel, Juni lalu. Begitu juga dengan Sinardi yang disiapkan sebagai direktur pembiayaan pun tidak lolos fit and proper test, padahal sebelumnya memiliki performa yang baik sebagai Direktur di Bank NTB.
Karena Syamsudin ditolak OJK, kemudian masuklah Kukuh Rahardjo yang kabarnya masuk lewat saluran langsung ke TGH Muhammad Zainul Majdi, yang waktu itu masih menjadi Gubernur NTB. OJK meluluskan Kukuh Rahardjo, yang pernah dalam satu tim direksi BNI Syariah pimpinan Imam Saptono yang diganti mendadak pada Maret 2017.
Lalu bagaimana peta perbankan syariah setelah konversi Bank NTB dan pemberlakuan Qanun Aceh? Di mana bank konvensional yang menggarap pasar perbankan syariah pun harus ancang-ancang memisahkan unit usaha syariah (UUS)-nya sampai batas waktu 2023. Semua diulas tuntas dalam Infobank edisi khusus syariah. (*)