oleh Eko B Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
RESESI pasti datang di awal Oktober ini. Indonesia, seperti diakui Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI, akan masuk lorong resesi, meski rakyat kecil sudah merasakan resesi sejak Maret 2020 – karena terkena dampak PHK. Berturut-turut, selama dua triwulan, pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Triwulan II 2020, ekonomi Indonesia kontraksi 5,32%. Diperkirakan triwulan III 2020 akan minus 2,9% hingga minus 1%.
Proyeksi pemerintah itu tidak mengejutkan. Pasar sudah mengantisipasi bahwa pertumbuhan ekonomi akan minus. Bahkan, pasar keuangan juga sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi sampai dengan akhir 2020 masih akan negatif. Jadi, pelemahan pasar keuangan lebih banyak menyangkut ketidakpastian penanganan pandemi Covid-19.
Menurut catatan The Finance Institute, tantangan menjaga kesinambungan fiskal naik terus sejak 2010. Ada nafsu belanja, sementara rasio pertumbuhan pajak (-1,7%) dan rasio pajak per PDB terus turun (9,60%). Juga, pertumbuhan belanja menjadi rendah – pada 2019 hanya 4,4% dari sebelumnya 9,7% di 2018.
Tak kalah seriusnya, defisit APBN meningkat sejak 2010. Sebenarnya sempat membaik di 2018, tapi akibat COVID-19 defisit APBN makin melebar. Hal lain yang perlu diperhatikan, keseimbangan primer sebagai indikator kesinambungan fiskal juga tercatat defisit, yang terus naik sejak 2011. Akibatnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB terus naik sejak 2011.
Itulah kenapa Indonesia terjebak pada pertumbuhan 5% (2011-2019). Apalagi, incremental capital output ratio (ICOR) sebagai indikator efisiensi ekonomi juga naik dan total factor productivity (TFP) sebagai cerminan produktivitas turun. Akibatnya berpengaruh pada PDB yang di kisaran 5% dan defisit transaksi berjalan – yang belum bisa turun sejak 2012.
Itu masalah fiskal akut. Bukan masalah moneter. Namun, mengapa ribut soal independensi Bank Indonesia (BI) yang disoal pemerintah. Jangan sampai yang gatal kaki, tapi kepala yang digaruk.
Independennya BI sebenarnya hadiah reformasi karena selama Orde Baru BI berada dalam “ketiak” pemerintah yang kuat. Hasilnya, pengawasan bank dinilai longgar, dan pemerintah harus menanggung krisis di 1998 – biaya pemulihan mencapai Rp650 triliun.
Cerita kelam BLBI dan KLBI menjadi noktah hitam sejarah BI, meski secara kebijakan itu merupakan pilihan. Karena itu, selain mendapat hadiah independen, BI pun dihukum dengan merelakan kewenangan pengawasan bank ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Cerita Orde Lama – di tengah kekuasaan yang kuat Soekarno dengan ambisi membangun Indonesia menjadi negara yang hebat – BI punya hobi mencetak uang. Gubernur BI merupakan “boneka” pemerintah sehingga kebijakannya pun sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah – termasuk mencetak uang berkali-kali. Inflasi menyala-nyala hingga ratusan persen. Rakyat sengsara karena harga melambung tinggi.
Pelajaran yang menarik di Indonesia, jika pemerintah kuat maka sebaiknya independensi tetap ada. Sebaliknya, jika pemerintah lemah maka masalah independensi tidak menjadi soal. Untuk Indonesia yang banyak partai, gelisah partai politik tentu mempunyai nafsu kekuasaan. Partai punya ambisi untuk mempunyai kekuasaan, termasuk menguasai sumber-sumber uang, tak terkecuali BI.
Menurut catatan Infobank, meski independen, faktanya BI melakukan banyak hal yang seharusnya dilakukan pemerintah. BI sangat masif mendorong ekonomi syariah. Juga, soal UMKM, pariwisata dan industri manufaktur. Bahkan, ekonomi digital pun sangat baik dikerjakan oleh BI. Banyak hal yang jadi tugas pemerintah dikerjakan BI. Bahkan, burden sharing pun dilakukan BI. Dalam aturan baru soal Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) BI sudah mengendorkan syarat. Itu artinya BI fungsi lender of the last resort tetap ada.
Faktanya independensi BI telah menghasilkan stabilitas moneter. Jadi, jangan sentuh independensi BI dengan dalih peduli terhadap krisis sampai mengembalikan BI ke zaman Orde Lama dan Orde Baru. Mari menjaga BI tetap independen. Jangan korbankan untuk kepentingan jangka pendek. Independen itu bukan negara dalam negara, melainkan independen dalam mengambil keputusan.
Jangan sampai alasan koordinasi, maka kelembagaan pun diobrak-abrik dan mengesankan kepentingan jangka pendek. Jujur saja, sulitnya koordinasi ini bisa jadi bukan karena kelembagaan – bisa juga karena para pembantu presiden, dan khususnya para menteri bidang ekonomi, tidak mampu menerjemahkan kemauan presiden.
Para menteri bidang ekonomi yang tak punya kebijakan extraordinary dan gagap-gagap karena kualitasnya rendah. Tidak ada sense of crisis, kata seorang pengamat dalam sebuah diskusi. Kita merindukan sosok Widjojo Nitisastro di awal Orde Baru. Jujur, para menteri ekonomi kabinet sekarang KW2, bahkan ada yang KW3.
Independensi BI itu untuk menyejahterakan rakyat, karena inflasi, nilai tukar, semua berujung pada penurunan daya beli rakyat. Masalah kita di fiskal, Pak Presiden! Bukan di moneter. Jangan anut paham cetak-mencetak duit seperti Orde Lama dan cetak-mencetak duit model Orde Baru. Ini Orde Reformasi, Bung!
Selamat datang, resesi. Jangan sampai menyambut resesi dengan mengembalikan BI ke masa Orde Lama dan Orde Baru. (*)