Jakarta – Pelaku perbankan syariah makin serius melakukan transformasi digital demi meningkatkan kepuasan nasabah. Digitalisasi memang menjadi suatu keharusan untuk memperkuat daya saing. Namun, perbankan syariah tidak cukup hanya menjadi digital. Business model yang lebih fokus dan teruji menjadi kunci keberhasilan bisnis yang berkelanjutan.
Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono menjelaskan, disruspi digital, terutama pasca pandemi COVID-19 memaksa perbankan melakukan transformasi digital. Di lain sisi kebiasaan digital masyarakat semakin berkembang. Perbankan yang layanan-nya sangat dipengaruhi oleh teknologi, data dan sinergi antar stakeholders, jelas sangat membutuhkan transformasi digital. Perbankan syariah harus melakukan transformasi digital untuk menghadapi persaingan digital dengan bank konvensional ataupun bank syariah lainnya, dan juga pemain lain seperti fintech dan bank digital.
“Yang perlu digarisbawahi adalah, digitalisasi merupakan cara, bukan tujuan. Jangan sampai transformasi lembaga hanya bertujuan sekadar menjadi digital, ini salah kaprah. Digitalisasi hanya alat, yang menentukan keberhasilan bisnis tetap business model yang solid dan teruji. Perbankan syariah harus mengoptimalkan layanan digital untuk mentransformasi bisnis mereka, Harus ada tujuan strategis yang ingin dicapai dari sekadar being digital,” ujar Yusuf kepada Infobanknews, 20 April 2023.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) ini juga menilai, saat ini sejumlah bank-bank syariah sudah melakukan transformasi digital dengan serius, terutama pemain besar, antara lain Bank Syariah Indonesia (BSI), Bank Muamalat, dan Bank Mega Syariah. Mereka terus memperkuat platform dan layanan digitalnya. Ekosistemnya pun diperluas melalui kolaborasi dengan pemain digital lain, baik e-commerce maupun fintech.
Namun ia menegaskan, tantangan yang lebih besar bagi perbankan syariah adalah business model yang lebih fokus dan teruji. Indonesia saat tidak hanya membutuhkan perbankan syariah dengan size yang besar, layanan lengkap, termasuk layanan digital, tapi juga perbankan syariah dengan model bisnis yang fokus.
Terkait hal ini, Yusuf menyayangkan konsolidasi atau merger bank BUMN syariah pada 2021 lalu karena dilakukan di tahap ketika market share perbankan syariah masih sangat rendah. Aksi itu juga berpotensi mencegah bank syariah mendalami ceruk pasar yang spesifik dan menjadi besar dengan strategi spesialisasi bisnis. Dalam kasus merger 3 bank BUMN syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) tersebut, ia menilai industri perbankan syariah nasional menjadi kehilangan bank syariah dengan spesialisasi pembiayaan mikro untuk usaha kecil yang sebelumnya melekat pada BRI Syariah.
“Dan kini, jika rencana akuisisi BTN Syariah oleh BSI jadi dilakukan, industri perbankan syariah berpotensi untuk kembali kehilangan bank syariah yang memiliki spesialisasi dalam pembiayaan kepemilikan rumah khususnya bagi rumah tangga kelas menengah-bawah yang melekat pada BTN Syariah,” terangnya.
Yusuf meyarankan pelaku perbankan syariah serius dalam membangun business model yang fokus, misal berspesialisasi di pembiayaan pertanian, UMKM, perumahan dan segmen-segmen potensial lainnya. Tantangan bagi perbankan syariah ke depan tidak sekadar digitalisasi, namun yang lebih penting adalah bagaimana pertumbuhan organik diraih melalui business model yang teruji dan berdaya tahan menghadapi krisis, baik melalui fokus pada segmen nasabah tertentu atau pada segmen sektor usaha tertentu.
Sedangkan terkait market share perbankan syariah yang baru menyentuh kisaran 7%, Yusuf menilai kondisi ini disebabkan masih dominannya pendekatan bottom up dan minimnya dukungan pemerintah. Jika ingin lebih serius meningkatkan market share perbankan syariah, ke depan porsi pendepatan top down harus semakin diperbesar.
Langkah paling minimal yang dapat dilakukan adalah pemerintah tidak bersaing dengan perbankan syariah dalam memperebutkan “dana – dana syariah” seperti dengan penerbitan sukuk yang sangat masif. Industri perbankan dan keuangan syariah membutuhkan kehadiran sukuk negara, namun penerbitannya yang sangat masif, bahkan hingga penerbitan sukuk ritel, telah menggerus DPK perbankan syariah.
Langkah yang lebih maju adalah penempatan dana pemerintah dan atau BUMN di perbankan syariah, atau yang paling sederhana misalnya payroll seluruh ASN melalui bank syariah. Kebijakan afirmatif seperti ini akan signifikan mendorong market share perbankan syariah.
“Langkah yang paling progresif adalah konversi bank BUMN menjadi bank syariah, katakan misalnya bank BUMN yang terkecil, BTN. Jika BTN dikonversi menjadi bank syariah, sebagaimana kasus konversi bank pembangunan daerah di Aceh, NTB dan juga Riau-Kepri, hal ini akan sangat signifikan, market share perbankan syariah akan langsung menembus 10%,” pungkasnya. (*) Ari Astriawan.