RUU P2SK: Waduh! Orang Asing Tak Bisa jadi Bos Multifinance, dan Dilarang Pinjam-Meminjam Valas

RUU P2SK: Waduh! Orang Asing Tak Bisa jadi Bos Multifinance, dan Dilarang Pinjam-Meminjam Valas

 

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute

TAK menyangka, perusahaan pembiayaan (multifinance) kembali diposisikan sebagai anak tiri. Pilih kasih. Bayangkan saja, jika RUU P2SK lolos, maka perusahaan pembiayaan tidak bisa dipimpin oleh orang asing. Lebih sedih lagi, jangankan mengambil dana pihak ketiga, menerima pinjaman valas pun tak boleh. Juga memberi pinjaman valas.

Tidak sama dengan sektor perbankan dan asuransi. Perusahaan pembiayaan hanya boleh dipimpin oleh orang Indonesia. Tak boleh oleh warga negara asing (WNA). Entah dari mana referensinya sehingga multifinance seperti diikat kakinya. Pendanaan yang selama ini menjadi problem utama multifinance justru diketatin. Tidak boleh pinjam-meminjam dalam bentuk valas, kecuali dalam mata uang rupiah.

Apakah ini untuk melindungi multifinance duafa, yang tak punya akses ke dana asing atau pihak asing? Tidak bisa dikonfirmasi. Namun, pasal-pasal yang mengikat multifinance ini perlu dihapus, karena tidak sesuai dengan zaman, bahkan mengingkari semangat membesarkan multifinance ke depan. Pun tak melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pasal 76, ayat (1) c, menyebutkan dengan tegas: ”kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet kepada masyarakat”.

Ruang lingkup kegiatan multifinance jelas makin sempit dengan adanya pasal 76 ayat (1) c itu. Kalimat “pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah” itu jelas sangat mengganggu. Selama ini perusahaan pembiayaan atau multifinance sudah akrab dengan urusan valas. Tidak hanya menerima pinjaman valas dari luar negeri tapi juga ada yang memberi pinjaman valas.

Menurut catatan Infobank Institute, hingga saat ini, justru multifinance sudah membiayai dalam bentuk mata uang valas. Meski belum banyak, saat ini perusahaan pembiayaan sudah mulai aktif dalam bentuk valas kepada debitur yang berorientasi ekspor – terutama untuk alat berat dan mesin produksi.

Dan, yang lebih sering terjadi, perusahaan pembiayaan sering pinjam ke luar negeri dalam bentuk mata uang valas. Tidak hanya itu, tidak jarang perusahaan pembiayaan mendapat pinjaman dari pemegang saham dalam bentuk valas.

Lihat data Biro Riset Infobank (birI), pada 2019, pinjaman luar negeri disetarakan dalam rupiah sebesar Rp100,19 triliun. Lalu, tatkala ada pandemi COVID-19, posisi pinjaman luar negeri menurun di 2020 menjadi Rp92,18 triliun. Dan, makin merosot di akhir 2021, tinggal Rp72,88 triliun. Tahun 2022 (Maret) mengecil menjadi Rp67,68 triliun. Nah, dalam setahun ini sudah merosot 22,6%.

Kendati  demikian, bukan berarti pinjaman luar negeri dalam bentuk valas dilarang. Ketakutan akan meledak seperti 1998 ketika pinjaman valas ini membesar tidak perlu terjadi. Belajar dari kejadian itu, justru multifinance kini makin kokoh. Lha, POJK saja telah mengatur mekanisme hedging atau lindung nilai.

Bahkan, pengecualian diberikan apabila perusahaan pembiayaan bisa membuktikan menerima sumber dana valas dan disalurkan dalam bentuk valas yang sama. Itu namanya natural hedging. Lebih didorong dengan natural hedging asal pasarnya memungkinkan.

Nah, jika pinjaman valas ini distop, maka perusahaan pembiayaan akan dihadapkan pada persoalan yang tersulit, yaitu masalah klasik soal pendanaan. Likuiditas! Bahkan, harga pinjaman luar negeri lebih murah, meski sudah dilakukan lindung nilai ketimbang bunga pinjaman dalam negeri.

Menurut catatan Infobank Institute, selama 17 tahun terakhir ini, perusahaan pembiayaan yang punya akses pinjaman luar negeri, atau milik asing, lebih leluasa dalam likuiditas, dan pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat.

Fakta itulah mengapa pasal 76 ayat 1 (c) mengenai ruang lingkup usaha perusahaan pembiayaan yang mewajibkan pinjam-meminjam dalam bentuk rupiah perlu ditinjau ulang. Harus direvisi dan memberi peluang dalam bentuk valas – karena sejatinya perusahaan pembiayaan ini awal mulanya adalah leasing yang sudah akrab dengan dana valas.

Orang Asing Dilarang Jadi Bos Multifinance

Selain pasal 76 ayat 1c, ada juga hal lain yang melawan zaman. Era sudah globalisasi, tak ada lagi sekat-sekat, tapi draf RUU pasal 78 ayat 2 di luar dugaan masih muncul. Kepemilikan WNA dan kepengurusan kembali disoal. Lihat saja bunyi pasal 78 ayat 2: ”kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f (warga negara asing-red) hanya dapat dilakukan melalui transaksi di pasar modal, dalam kapasitas tertentu, dan tidak diperkenankan sebagai pengurus perusahaan”.

Larangan menjadi bos multifinance ini bertentangan dengan zaman dan kejamakan. Lha, pasti pemegang saham mempercayakan kepada manajemen yang dapat dipercaya. Harus tahu orangnya, baik karakter dan kemampuannya untuk mengawasi dan mengembangkan investasinya di perusahaan pembiayaan di Indonesia.

Lebih komplikasi, karena seperti pinjaman dalam bentuk valas, saat ini, menurut data Biro Riset Infobank, kepemilikan perusahaan pembiayaan dari total 158 perusahaan, ada 63 perusahaan dimiliki oleh asing. Atau, mendekati 40%. Jadi, wajar saja pemegang saham asing itu ingin menempatkan wakilnya sebagai pengurus.

Tidak ada yang dilanggar. Bahkan, OJK juga sudah mengatur, bahwa komposisinya, direksi asing itu 50% dan 50% lagi profesional lokal. Aturan ini lebih fair, meski tidak lagi harus. Namun, profesional lokal pun tetap diberi kesempatan. Soal profesional asing di manajemen ini tidak berlaku di sektor perbankan dan asuransi.

Jadi, pasal ini perlu direvisi. Tidak sesuai dengan zaman dan mengingkari hakikat sebuah perusahaan. Ibarat kita punya perusahaan diserahkan kepada orang yang tidak kita kenal, tentu tidak baik dan penuh risiko.

Dua pasal itu dipastikan akan mengganggu industri yang sudah menembus angka Rp400 triliun dengan melibatkan 20 juta nasabah ini. Nah, untuk terus mendorong multifinance ke depan, pasal itu perlu dikaji lagi.

Menurut Infobank Institute, yang didasarkan pada kepemilikan usaha keuangan dan jenis usaha, ada lima kelompok besar kepemilikan perusahaan pembiayaan yang menentukan masa depan industri multifinance. Satu, perusahaan pembiayaan yang dimiliki oleh bank. Dua, perusahaan pembiayaan yang dimiliki grup produsen otomotif. Tiga, perusahaan pembiayaan yang dimiliki showroom. Empat, perusahaan pembiayaan yang berdiri sendiri tanpa grup produsen, showroom, dan bank. Lima, perusahaan pembiayaan yang satu grup dengan bank, produsen mobil, showroom, dan asuransi sekaligus.

Untuk kelompok yang punya bank jauh lebih baik, karena bank dapat menjadi solusi penting bagi masalah pembiayaan atau likuiditas. Pada pemulihan krisis global 2009, pergerakan multifinance begitu terlihat. Begitu bergairah. Sektor otomotif juga bergerak naik, baik penjualan sepeda motor maupun mobil menemukan momentum. Sebelumnya, tahun 2005, ada kenaikan BBM, yang membuat multifinance mengalami penurunan pertumbuhan tapi akhirnya kembali tumbuh – waktu itu penjualan sepeda motor dan mobil tertekan. Namun, itu hanya sebentar karena situasi kembali naik.

Tahun 2013 merupakan puncak pembiayaan multifinance sebelum menurun karena pencabutan subsidi BBM di 2015, dan kasus double pledging di 2017/2018. Namun memang perkembangan multifinance lebih banyak disebabkan oleh kenaikan BBM yang berdampak pada kenaikan harga-harga. Saat itu pulalah multifinance makin berat napasnya.

Saat ini tekanan terhadap harga BBM juga berat. Namun, jika melihat perkembangan multifinance di 2021 sepertinya sudah kembali pada titik normal, meski belum “ngegas” dengan kecepatan tinggi. Setidaknya tanda-tanda pemulihan sudah ada.

Namun, yang masih terus menjadi tantangan adalah soal likuiditas. Pendanaan menjadi sangat penting bagi hidup-matinya multifinance. Buktinya, ketika terjadi tragedi double pledging, multifinance sulit sekali mencari pinjaman ke bank, kecuali multifinance yang dimiliki oleh bank.

Itu pulalah, ada usulan yang berkembang, terutama di pasal 86 huruf (a). Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang ”menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan penghimpunan dana masyarakat”.

Intinya perusahaan pembiayaan tidak boleh menghimpun dana masyarakat. Namun, setidaknya bisa belajar dari perusahaan pembiayaan di Hong Kong. Perusahaan-perusahaan finance di Hong Kong diperbolehkan mengambil dana pihak ketiga dalam golongan tertentu. Tidak retail, seperti tabungan.

Diskusi mengenai boleh tidaknya perusahaan pembiayaan mengambil dana pihak ketiga ini sudah terjadi sejak sebelum krisis 1998. Hasilnya? Selalu saja mentah karena multifinance itu berbeda dengan bank. Jika diperbolehkan, maka akan menimbulkan komplikasi.

Namun, ada baiknya – yang diizinkan boleh menerima dana pihak ketiga dalam batas tertentu. Misalnya, di atas Rp2 miliar dan hanya korporasi atau lembaga. Usulan ini semata-mata agar multifinance bisa lebih cepat berlari, dan menjadi alternatif pembiayaan masyarakat. Peran perusahaan pembiayaan dalam 20 tahun terakhir sudah terlihat, berkembang dengan portofolio Rp400 triliun.

Jadi, pasal 76 ayat 1 (c), juga pasal 78 ayat 2, perlu dicabut, atau direvisi. Harapannya, pasal 86 huruf (a) juga diubah dengan memperbolehkan multifinance menerima dana pihak ketiga dalam bentuk nominal besar-besar, dan tentu dengan syarat ketat agar tidak menjadi masalah yang lebih serius.

Janganlah perusahaan multifinance terus-terusan menjadi anak tiri. Masak mencari dana valas tidak boleh dan orang asing tak bisa jadi bos di perusahaan yang dimiliki. Aneh dan mengingkari zaman global. (*)

Related Posts

News Update

Top News