Jakarta – Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan yang telah disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (11/7) menuai polemik berbagai pihak.
Utamanya, organisasi kesehatan di Tanah Air yang meminta pencabutan undang-udang kesehatan tersebut dinilai merugikan para nakes yang nantinya akan berdampak kepada pelayanan kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah mengatakan, ada berbagai alasan pihaknya menolak UU kesehatan. Salah satunya, menghilangkan mandatory spending atau anggaran belanja yang sebelumnya sudah diatur UU.
“Mandatory spending yang semula 5% dari APBN dan 10% APBD. Apa yang terjadi kalau dihilangkan,” kata Harif yang terpantau di laman resmi Instagram dpp_ppni, dikutip, Rabu, 11 Juli 2023.
Baca juga: Enam Cara Menjaga Kesehatan Mental
Menurutnya, saat ini jumlah tenaga perawat di Indonesia lebih dari 80 ribu orang yang berstatus tenaga honorer dan sukarela. Bahkan, negara sekalipun tidak mampu memberikan kompensasi untuk nakes yang bekerja di daerah terpencil.
Oleh karena itu, pihaknya juga menyepakati akan melakukan aksi mogok kerja massal tenaga medis. Di mana, sejumlah pelayanan kesehatan akan diberhentikan hingga UU Kesehatan dicabut oleh pemerintah.
“PPNI telah mengadakan rapat kerja nasional pada tanggal 9-11 Juni lalu di Ambon. Salah satu keputusan yang diambil adalah mogok kerja nasional,” jelasnya.
Meski begitu, PPNI masih belum bisa memastikan kapan aksi mogok kerja ini dimulai. Sebab masih terus dikoordinasikan dengan organisasi profesi tenaga kesehatan lainnya.
Baca juga: Hanwha Life Gandeng K-Lab Berikan Layanan Kesehatan dari Korea
Sementara itu, Ketua PB IDI Adib Khumaidi menegaskan, pihaknya akan mengawal terkait proses hukumnya. Salah satunya, akan melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Kontitusi (MK).
“Kita akan terus mengawal proses hukumnya, apakah ke Mahkamah Konstitusi melalui judicial review. Ini adalah sebagai bagian dari upaya perjuangan kita,” pungkasnya. (*)