Poin Penting
- RUU Danantara dan Patriot Bond Masuk Prolegnas 2026. Kedua RUU ini dinilai strategis namun kontroversial, karena terkait restrukturisasi BUMN dan instrumen pendanaan baru.
- Penyusunan RUU dinilai terburu-buru, kurang melibatkan publik, serta berisiko menurunkan akuntabilitas dan stabilitas fiskal.
- Akses pengawasan BPK dan KPK ke Danantara terbatas, sementara Patriot Bond dinilai sarat kepentingan politik dan bisa ganggu likuiditas perbankan.
Jakarta - Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 23 September 2025, mengesahkan Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2026, yang di antaranya menambahkan RUU Danantara dan RUU Patriot Bond ke dalam daftar RUU prioritas.
RUU Danantara dan Patriot Bond merupakan tindak lanjut dari rencana likuidasi Kementerian BUMN.
Di satu sisi, keberadaan RUU membuka peluang bagi Danantara untuk memperkuat posisinya sebagai super holding BUMN dan menambah pendanaan baru. Namun, urgensi dan kelayakan pengajuan kedua RUU ini masih perlu mendapat perhatian khusus dari publik.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai bahwa dualisme Kementerian BUMN dan BPI Danantara harus diselesaikan dengan payung hukum yang jelas.
Ia juga menyoroti dasar hukum Patriot Bond yang masih dipertanyakan, termasuk mekanisme rating dan transparansi pemanfaatannya.
“Proses pembuatan RUU Danantara dan RUU Patriot Bond perlu dilakukan secara transparan dan tidak terburu-buru. Jangan mengulang kesalahan revisi UU BUMN awal tahun 2025 yang minim partisipasi publik,” kata Bhima, dikutip Rabu, 24 September 2025.
Baca juga: Likuiditas Bank Himbara Diperkuat Dana Rp200 Triliun, Ini Respons Bos Danantara
Sebelumnya, dalam keterangannya pada media, Ketua Badan Legislasi (Baleg) Bob Hasan menjelaskan bahwa RUU Danantara akan menggunakan naskah akademik lama yang disempurnakan. Namun hingga kini, masyarakat belum dapat dengan mudah mengaksesnya.
Bhima menegaskan, tanpa mitigasi risiko dan uji publik yang terbuka, kedua instrumen ini bisa menambah kerentanan sistemik dan menggerus akuntabilitas pengelolaan aset negara serta stabilitas fiskal.
Kekhawatiran Soal Pengawasan
Di lain sisi, Peneliti Celios, Tabita Diela mewanti-wanti potensi munculnya masalah terkait pengawasan dan implementasi investasi akibat peleburan BPI Danantara dan Kementerian BUMN.
“Meski sudah menyatakan tidak kebal hukum, akses Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Danantara terbatas untuk melakukan pengawasan dan audit proaktif,” imbuh Tabita.
Dengan kata lain, kekhawatiran terhadap RUU Danantara meliputi tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian BUMN, minimnya transparansi yang bermuara pada ruang gelap akuntabilitas, serta penyusunan yang terburu-buru.
Baca juga: Investasi Danantara Ditargetkan Tembus Rp980 T pada 2029, Ini Kata Menkeu Purbaya
Patriot Bond dan Risiko Fiskal
Sementara itu, terkait RUU Patriot Bond, penerbitan instrumen ini terbilang unik lantaran dilakukan dengan kupon yang jauh di bawah rata-rata kupon obligasi pemerintah. Alih-alih menggunakan logika investasi berbasis risiko dan pengembalian, pembelian instrumen ini oleh para konglomerat Indonesia didorong oleh tendensi politis.
“Patriot Bond adalah asuransi politik bagi konglomerat agar bisnisnya tidak diganggu,” sambung Bhima.
Meski bukan keniscayaan—terlebih setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyalurkan Rp200 triliun ke Himbara—Patriot Bond punya potensi mempengaruhi likuiditas perbankan.
Risiko crowding out secara sektoral masih tetap ada jika dana yang terkumpul hanya mengendap dan tidak berputar lagi ke ekonomi riil, atau jika pebisnis menunda ekspansi produktifnya demi membeli instrumen Patriot Bond.
Baca juga: Perkuat Dunia Usaha, Danantara Bakal Terbitkan Patriot Bonds
Sama seperti Danantara, Patriot Bond pun perlu due diligence dan peta jalan yang jelas. Meski dijanjikan untuk membiayai proyek waste-to-energy, hasil dari penjualan instrumen ini belum tentu betul-betul digunakan sebagaimana mestinya.
“Pasalnya, pembangkit listrik tenaga sampah belum terbukti efektif dan biaya pemilahan sampah tidak kompetitif dibanding opsi teknologi EBT lain, seperti panel surya dan mikro-hidro,” tutur Tabita.
Dorongan untuk Transparansi
Baik pembahasan RUU Danantara maupun RUU Patriot Bond dinilai harus dilakukan secara hati-hati, terbuka, dan disertai akses publik terhadap naskah akademik maupun draf RUU.
“Pakar yang diajak memberikan input jangan 'cherry picking' atau hanya mengundang yang sejalan dengan kemauan pemerintah semata,” tegas Bhima. (*) Steven Widjaja










