Jakarta – Mata uang rupiah terus mengalami pelemahan terhadap US dolar beberapa waktu ini. Bahkan, dalam satu tahun terakhir, depresiasi rupiah terhadap US dolar tercatat hampir mencapai 10 persen.
Berdasarkan data Bloomberg, kurs rupiah setara dengan Rp16.365 per dollar AS pada 19 Juni 2024. Sedangkan, pada periode yang sama tahun lalu, kurs rupiah masih setara Rp 14.995 per dollar AS.
Dengan demikian, rupiah sudah melemah 9,14 persen selama kurun waktu satu tahun. Sementara per hari ini, Kamis (20/6) saja, rupiah ditutup melemah 0,4% di angka Rp16.425/USD, sebagaimana dikutip dari Refinitiv.
Melihat kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W. Kamdani menyatakan, tren pelemahan rupiah terhadap US dolar itu menciptakan kondisi yang tak kondusif bagi jalannya perekonomian nasional. Mengingat pelemahan nilai tukar rupiah itu menyebabkan peningkatan biaya pada sektor bisnis.
Baca juga: BI Tahan Suku Bunga Acuan, IHSG Ditutup Ngegas 1,37 Persen
“Kan sekarang dengan pelemahan rupiah, jelas nantinya bisa mengganggu dari sisi biaya operasional. Lalu, kembali lagi ke demand atau daya beli yang juga menurun. Kita juga melihat industri-industri padat karya yang berorientasi ekspor itu pasti akan menemui kendala. Sekali lagi, karena kebanyakan bahan baku penolongnya ini masih impor dan menggunakan mata uang dolar,” ujar Shinta di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2024.
Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah turut memengaruhi industri perbankan. Ia menjelaskan, dari sisi perbankan, pembayaran utang atau payment debt masih banyak menggunakan mata uang asing, sehingga pihaknya mengkhawatirkan sisi non-performing loan (NPL) pada perbankan, yang perlu dijaga dan diperhatikan secara serius.
Baca juga: Rupiah Melemah, Bos BI Sebut Karena Faktor Ini
“Jadi, kami melihat memang tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk intervensi, karena ini kan penyebabnya faktor luar ya yang di luar kendali kita. Tapi tetap pemerintah ya bagaimana bisa membantu untuk menstabilkan nilai tukar mata uang rupiah ini,” imbuhnya.
Di samping itu, ia juga menegaskan masih surplusnya nilai perdagangan Indonesia perlu diamati dan dijaga secara serius oleh pemerintah dan regulator terkait lainnya.
Hal ini dikarenakan surplus perdagangan Indonesia selama 49 hari berturut-turut itu terus menipis. Hal ini tentunya disebabkan oleh menurunnya permintaan ekspor yang dipicu daya beli yang menurun.
Diversifikasi pasar ekspor, mendorong fasilitasi bagi para eksportir baik dari sisi pembiayaan maupun promosi, serta dukungan regulasi, adalah beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mencegah surplus semakin menipis ke depannya.
“Biar bagaimana pun juga kan produsen kita ini masih membutuhkan bahan baku impor, jadi ini tetap harus didukung lah supaya impor-ekspor itu juga bisa lancar untuk para produsen ataupun eksportir. Jadi ini saya pikir harus dijaga supaya biarpun dalam kondisi demand yang kurang baik, supply ini bisa terus didorong,” tukas Shinta. (*) Steven Widjaja