Jakarta – Banyaknya syarat yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara fintech membuat status perizinan fintech lending kian pelik. Meski banyak fintech yang sudah berusaha memenuhi syarat untuk mendapat izin penuh, namun sejak diterbitkannya POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dari 63 fintech yang terdaftar, baru 1 fintech yang memperoleh izin.
Pantas saja jika perusahaan 62 fintech lain yang sudah terdaftar dan berusaha memenuhi aturan merasa ketar-ketir. Pasalnya, status mereka menjadi tidak jelas, berstatus terdaftar tapi hanya menggengam masa izin temporer selama satu tahun. Untuk mendapatkan izin permanen, maka pelaku fintech harus dapat mengurus perizinan resmi paling lambat setahun setelah status terdaftarnya diperoleh.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira, di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018 menilai, makin minimnya fintech berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal. Di mana fintech tak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan OJK. Satgas Waspada Investasi sendiri sejauh ini sudah menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending.
Fintech-fintexh tersebut meski sudah beroperasi, tetapi tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produknya, sehingga berpotensi merugikan masyarakat. Potential lost-nya kalau jumlah fintech kalau berizinnya sedikit pastinya nanti ada risiko yang ditanggung masyarakat. Kayak kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah dong memberikan sanksi atau teguran yang sifatnya antisipatif,” ucapnya.
Makin banyaknya fintech yang dianggap liar dan tidak termasuk dalam pengawasan OJK, berpotesi memicu kerugian besar, mulai dari pidana penipuan pencucian uang, transaski ilegal, hingga tidak adanya perlindungan soal data. Kerugian lainnya, fungsi fintech yang sejatinya berperan sebagai penyalur dana ke masyarakat, khususnya yang unbankable menjadi tak optimal. Dengan sedikitnya fintech yang berizin, maka potensi untuk menyalurkan kredit ke masyarakat juga jadi berkurang.
Dirinya menyadari, untuk memperoleh status izin sebagai fintech resmi memang sangat menyulitkan. Tidak hanya melulu harus memenuhi prasyarat dari OJK, penyelenggara pun akan berhadapan setidaknya dengan 14 kementerian dan lembaga. Proses yang kompleks itu pada akhirnya membuat biaya transaksi untuk memperoleh izin membengkak dan ujungnya bisa menimbulkan keengganan pula dari penyelenggara fintech untuk mengejar status berizinnya.
Untuk itu, dirinya menyarankan, agar OJK dapat membuat proses perizinan satu pintu sehingga semua syarat yang mesti dipenuhi penyelenggara cukup diurus di OJK. Cara ini juga akan efektif untuk menghindari adanya perizinan yang tumpang-tindih. “Jadi sekarang OJK harus punya perizinan satu pintu, harus punya insentif juga. Jadi semua biaya perizinan itu digratiskan. Kalau misalnya nanti masih juga susah, OJK harus jemput bola mendatangi fintech-fintech,” tukasnya.
Pasalnya, investasi-investasi dengan izin satu pintu untuk berbagai sektor sudah diterapkan oleh BKPM. OJK pun mesti mencontoh apa yang dilakukan BKPM, dikarenakan sebagian besar fintech yang ada di Indonesia merupakan jenis fintech lending.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan, selain aturan yang tertuang dalam POJK 77 Tahun 2016, setidaknya ada 25 standar operasional prosedur (SOP) lain yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara fintech lending untuk bisa mendapatkan izin resmi. Di samping itu juga ada aturan-aturan lain yang mesti dipenuhi penyelenggara di kementerian atau lembaga lain, seperti masalah platform yang mesti mendapatkan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.
“Jadi ketika kami menanyakan izin, ada dua kelompok besar, penuhi UU ITE dan SOP yang 25. Beratkah itu? Memang harus berat. Karena mengapa? Hak yang akan diperoleh mereka ini sifatnya permanen,” ucapnya. (*)