Revisi Sebelum Terlambat! POJK Perlindungan Konsumen yang Baru Mendorong ‘Moral Hazard’ dan ‘Menggembosi’ Multifinance

Revisi Sebelum Terlambat! POJK Perlindungan Konsumen yang Baru Mendorong ‘Moral Hazard’ dan ‘Menggembosi’ Multifinance

Oleh Tim Biro Riset Infobank

SURGA ada di telapak debitur. Apakah itu debitur sontoloyo atau bukan. Semua kini dilindungi dengan hak yang sama. Tidak ada perbedaan. Jika Anda punya utang macet, sekarang tenang saja. Jangan gelisah dan takut. Tak perlu waswas di jalan – jika utang kendaraan menunggak. Sang penagih utang tak akan menyetop Anda meski Anda punya tunggakan berbulan-bulan.

Simak! Aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang penarikan kendaraan di tengah jalan. Penarikan harus dilakukan pada jam kerja, antara Senin-Sabtu pukul 08.00 sampai pukul 20.00. Sang penagih utang (debt collector) pun harus ketemu yang punya utang. Pelaku jasa keuangan yang melanggar akan kena denda sampai Rp15 miliar. Duh!

Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, seperti ditegaskan OJK, merupakan respons cepat OJK selaku regulator atas amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) untuk memperkuat perlindungan konsumen dan masyarakat.

Beleid baru ini tidak salah, sebab mendorong entitas pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) agar usahanya sehat secara bisnis dan menerapkan perilaku (market conduct) yang baik dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pendek kata, dengan menerapkan market conduct akan makin mendorong pertumbuhan bisnis yang sehat. Itu karena makin kuatnya kepercayaan konsumen.

Pertanyaannya, benarkah PUJK akan sehat dan kuat? Simak beberapa kenyataan ini. Satu, dari total pengaduan selama 2023 yang sebanyak 14.779, yang terindikasi pelanggaran yang dilakukan oleh PUJK hanya 92 pengaduan, atau cuma 0,6%. Jadi, jauh lebih banyak asal mengadu saja. Jumlah pengaduan terbanyak yaitu pada perbankan sebanyak 7.426 aduan, lalu sektor multifinance 2.971, dan fintech 2.855 aduan.

Dilihat dari yang terindikasi pelanggaran, asuransi yang jumlah pengaduannya sebanyak 1.291 pengaduan, tapi ada 49 yang terindikasi pelanggaran, sementara perbankan 34, multifinance hanya 3, fintech 5, dan pasar modal hanya 1 pengaduan yang terindikasi pelanggaran.

Baca juga: OJK Terbitkan Aturan Baru Terkait Perlindungan Konsumen, Simak 11 Poin Pentingnya

Nah, jika melihat data ini, maka memperlakukan aturan kepada perbankan, multifinance, dan sektor jasa keuangan lainnya sama rata sama rasa, baik debitur sontoloyo maupun yang baik-baik, tentu tidak fair. 

Dua, aturan baru itu, menurut diskusi terbatas Infobank Institute, justru akan kontraproduktif bagi perkembangan sektor perbankan dan multifinance tentunya. Padahal, kalau industri keuangan berkembang maka sektor lain juga berkembang, seperti sektor otomotif karena pembelian produk otomotif lebih banyak menggunakan leasing misalnya. Sektor keuangan diperkirakan akan melambat karena aturan baru tentang penagihan yang jujur menghambat collection yang menjadi bagian ekosistem dalam pemberian pinjaman.

Tiga, di perbankan sudah ada hak tanggungan (benda tak bergerak) dan fidusia (benda bergerak) di multifinance. Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu untuk kreditur. Jadi, benda yang menjadi jaminan akan dilelang jika debitur macet untuk melunasi utangnya.

Sedangkan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pendek kata, kendaraan leasing itu masih punya perusahaan sepanjang belum lunas.

Harusnya dengan menggunakan senjata ini sudah beres. Tidak perlu lagi membuat aturan baru yang justru, seperti disebutkan oleh kalangan keuangan dan perbankan, akan mengerdilkan gerak multifinance dan perbankan. Jangan sampai hal itu akan mempersulit perkembangan industri jasa keuangan.

Empat, aturan baru perlindungan konsumen ini paling tidak akan menimbulkan moral hazard bagi debitur. Diperkirakan penarikan makin seret pasca-POJK 22 Tahun 2023 ini. Tidak sedikit debitur macet yang akan berbuat nakal agar kendaraan bermotornya tidak ditarik. Ada istilah, kendaraannya ada, tapi debiturnya sudah tidak ada. Atau, debiturnya ada, tapi kendaraannya sudah tidak ada – sudah pindah tangan, dijual atau digadaikan. 

Ada juga, kendaraannya tidak ada dan nasabahnya sulit ditemukan. Bisa juga, kendaraan ada dan debitunya ada, tapi dijamin oleh preman yang berkedok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara, pasal 62 ayat 2 (c) menjadi “hantu” industri karena bunyinya, “PUJK memastikan penagihan tidak kepada pihak selain konsumen”. Sementara, banyak kasus kendaraan yang tidak sedikit dialihkan kepada pihak ketiga. Hal ini tentu tidak sesuai dengan pasal 20 UU Jaminan Fiducia. Sebab, jaminan fiducia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminnan dalam tangan siapapun.

Baca juga: Ini Empat Fokus OJK dalam Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa keuangan

Menurut UU Jaminan Fidusia – kendaraan yang belum lunas itu masih dimiliki oleh perusahaan leasing. Nah, jika ada kasus kendaraan dipindah tangan maka debitur bersangkutan bisa dihukum dua tahun (pasal 36). Jadi, jika debt collector hanya beroperasi di jam kerja sama halnya melarang secara halus, maka akan menimbulkan dampak buruk juga bagi debitur, karena seumur hidup debitur yang menunggak itu akan masuk daftar hitam (blacklist). Seumur hidup tidak akan bisa mendapatkan pinjaman lagi, baik dari bank maupun leasing

Tapi, siapa peduli masuk daftar hitam? Sementara, pemerintah sendiri juga akan memberi penghapusan pinjaman macet. Ada pemutihan utang macet. Jadi, sebenarnya pemerintah sendiri mengajarkan moral hazard sejak awal kepada debitur sontoloyo. Nasabah-nasabah yang baik akan ikut perilaku debitur sontoloyo yang dimanjakan.

Lima, jika mencermati POJK perlindungan konsumen yang baru ini, dari 125 pasal, ada 73 pasal mengandung sanksi sampai Rp15 miliar jika PUJK melanggar. Ini tidak hanya multifinance, tapi semua sektor keuangan termasuk perbankan, asuransi, fintech, dan pasar modal. Jelas ini memberatkan industri. Sanksi sebesar maksimal Rp15 miliar entah datang dari mana, dan jika minta keringanan pun bagaimana prosedurnya. Apa dasar pemberian keringanan juga banyak dipertanyakan industri.

Misalnya, jika ada perusahaan leasing melanggar, ada penarikan debitur macet pembelian sepada motor – yang tidak kooperatif di malam hari, maka OJK akan mengenakan sanksi, mulai dari peringatan tertulis sampai denda maksimal Rp15 miliar. Entah bagaimana formulanya soal denda maksimal Rp15 miliar ini. Denda Rp15 miliar, meski ada peluang diskon, tentu ini menjadi tarik ulur yang sulit dipahami industri.

Enam, jika debitur macet dan sukarela menyerahkan jaminan harus lewat penetapan pengadilan. Itu jika debitur setuju. Nah, bagaimana jika itu benda bergerak dan dinyatakan di Pengadilan Jakarta misalnya, tapi barang bergerak itu dibawa ke Bekasi, Jawa Barat, tentu tidak bisa dieksekusi juga. Jika kasusnya begitu maka akan minta penetapan Pengadilan Jawa Barat. Jadi, UU Fidusia sudah benar, karena barang leasing jika belum lunas punya leasing, bukan punya debitur yang belum lunas.

Tujuh, jika tidak boleh eksekusi di jalan, tapi harus di rumah. Plus harus ketemu debitur. Nah, kalau debiturnya kerja kantoran tentu waktu jam 08.00-20.00 (pasal 62 ayat 2 [f]) tentu ada di kantor, atau masih di jalan, dan tidak ada di rumah. Hari libur juga tidak boleh ditagih. Jadi, harus ada debiturnya dan tidak boleh di ruang publik. Bagaimana kalau debitur kelas kantoran macet? Peluang untuk menagih jadi kecil. Macet.

Delapan, lebih parah lagi, jika kendaraan itu ada di pihak ketiga, misalnya digadaikan. Atau, minta perlindungan LSM, penagih utang tidak boleh menarik, karena yang harus menyerahkan di peminjamnya. Hal ini tentu makin mempersulit penagihan. Ujung-ujungnya akan terjadi peternakan kredit macet – jika demikian – maka bank yang memberi pinjaman juga akan kena imbasnya. Dampak berantai akan lebih parah dibandingkan hanya membela debitur macet tidak kooperatif.

Sembilan, industri keuangan, termasuk bank dan multifinance, sebenarnya mulai bangkit sejak COVID-19 berakhir. Pertumbuhan multifinance tahun 2023 sudah mendekati sebelum krisis COVID-19. Industri multifinance tahun inni tumbuh Juga, perbankan yang diperkirakan tahun ini kredit akan tumbuh mendekati 10%.

Baca juga: Gara-Gara Ini, OJK Awasi Ketat 7 Perusahaan Multifinance

Perolehan laba juga meningkat dan tentunya pajak yang dibayar juga meningkat. Sejumlah PUJK sudah mulai panas dingin dengan aturan ini. Ada semacam ketakutan industri tidak akan tumbuh double digit karena salah satu ekosistem perkreditan, yaitu penagihan, seperti “tersandera”. Boleh jadi aturan baru ini bak “menggembosi” industri secara perlahan tapi pasti.

Bagaimana jalan keluarnya? Menurut Infobank Institute, ada celah, yaitu di pasal 6 dari POJK Nomor 22 Tahun 2023. Pasal 6 berbunyi, ”PUJK berhak mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidakbaik”. Contoh iktikad tidak baik seperti konsumen memberi informasi dan/atau dokumen yang tidak jelas, atau konsumen menolak melaksanakan kewajiban. Juga, konsumen mengalihkan barang yang menjadi agunan tanpa persetujuan PUJK dan konsumen menyerahkan agunan yang bersumber dari kejahatan.

Pasal 6 dari beleid baru ini paling tidak harus menjadi kesatuan. Tidak berdiri sendiri dan salah ditafsirkan oleh masyarakat. Nah, dengan demikian, maka POJK ini – di mana penagihan harus jam 08.00-20.00, penarikan di rumah, dan harus ketemu debitur hanya berlaku bagi debitor baik-baik saja. Tapi, bagi debitur yang tidak punya iktikad baik tidak berlaku. 

Jangan sampai akibat aturan baru, perlindungan konsumen lebih condong “membela” debitur sontoloyo. Jika ada ekses dari penagihan bisa diminimalkan, dan terbukti dari PUJK yang terindikasi melanggar aturan tidak sampai 1% (tepatnya 0,6%) seperti data OJK. 

Jadi, harusnya aturan itu memberi keseimbangan antara perlindungan dan juga kelembagaan. Bahkan, lebih tegas hanya berlaku bagi debitur baik-baik saja, dan tidak berlaku bagi debitur bandel, tidak kooperatif dan tidak punya iktikad baik atau debitur “sontoloyo”.

Jangan sampai aturan baru ini akan melahirkan moral hazard bagi debitur yang tadinya baik-baik berubah “mendadak” tidak baik. Juga, jangan sampai sektor jasa keuangan, seperti bank dan multifinance, akan tumbuh bak siput karena yang namanya penagihan itu bagian penting dari ekosistem pemberian kredit.

Bahwa penagihan harus baik-baik itu iya, tapi menggunakan hak tanggungan bagi bank dan fidusia bagi multifinance sudah lebih dari cukup. Tapi, masih ada jalan, yaitu pasal 6 dari POJK 22 Tahun 2023 yang akan menolong industri dengan keseimbangan industri dapat tumbuh dan debitur baik-baik terlindungi. Jangan ajarkan debitur tidak membayar angsurannya, karena dalam jangka panjang akan membuat debitur itu “mati secara perdata” karena masuk blacklist – yang tak akan dapat kredit lagi. 

Sekali lagi, jangan ada moral hazard karena aturan baru dari OJK ini, harus dipisahkan nasabah baik dengan nasabah sontoloyo, dan akan lebih baik golongan fintech di keluarkan dari kelompok bank dan multifinance. Jangan karena efek penagihan fintech yang terdengar tidak manusiawi semua disamakan dalam satu aturan. (*)

Related Posts

News Update

Top News