Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan reshuffle sejumlah menteri. Upaya tersebut membuka harapan baru bagi para menteri hasil reshuffle untuk mampu mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), terutama di tengah pandemi Covid-19.
Saat ini, bangkitnya sektor ekonomi menjadi fokus utama bagi Indonesia agar bisa survive dari dampak pandemi. Meski begitu, masih ada sejumlah posisi menteri yang dinilai kurang mampu mengakomodir bantuan sosial (bansos), sebagai salah satu upaya mendorongnya pemulihan ekonomi.
Sebab, bansos sendiri dinilai beberapa pihak berpotensi menimbulkan moral hazard, terutama pasca tertangkapnya Menteri Sosial Julian Batubara atas dugaan korupsi dana bansos, kehadiran beberapa bansos di sejumlah kementerian mendapat sorotan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, bahwa pihaknya mencermati beberapa bansos bagi para pekerja, di mana pemberian bansos tersebut diharapkan mampu mendorong ekonomi dan penciptaan lapangan kerja saat pandemi.
Mulai dari bantuan langsung tunai (BLT) subsidi upah sebesar Rp2,4 juta per penerima, hingga bantuan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) di Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) menurut Enny, belum mampu menjawab itu semua.
“Dari awal skema nya ini kan namanya bantuan, jadi seolah-seolah seperti dana perlindungan sosial. Padahal dana tersebut harus produktif dan berdampak bagi pemulihan ekonomi, untuk itu konsepnya harus jelas terlebih dahulu,” ucap Enny.
Bahkan ia menyebut, jika skema seperti itu tetap dipertahankan, tak ubahnya seperti transfer payment. “Seolah seperti saweran untuk survival bertahan hidup,” imbuhnya.
Sementara untuk pekerja maupun pelaku usaha tersebut butuh untuk berkembang, dengan melanjutkan usaha atau pun mencari alternatif penghasilan dengan melakukan usaha. Upaya survival-nya, lanjut Enny, dengan usaha, artinya pemulihan ekonomi ini benar-benar terjadi.
“Kalau yang sekarang ini kesannya kalau sudah disalurkan ya selesai. Padahal kan nggak. Kemudian apakah itu akan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional ini tidak jelas ukuran maupun indikator keberhasilannya, efektivitasnya bagaimana?” tanya Enny.
Pemerintah, sambung dia, harus mengubah concern skema bantuan tersebut. Yang paling utama, mencari persoalan di sektor pekerja, misalnya kurang lahan pekerjaan, bahkan dipecat dari kantor, bagaimana bantuan tersebut menjadi alternatif usaha bagi mereka.
“Ini memang memerlukan kerja keras dari berbagai pihak, terutama kementerian terkait. Harusnya para penerima juga diberi pendampingan dan akses informasi yang baik, tak hanya sekadar memberi bantuan, namun juga menciptakan ekosistem yang meningkatkan produktivitas para pekerja,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Program JPS di Kemnaker terdiri dari program Tenaga Kerja Mandiri (TKM) untuk penciptaan wirausaha, serta padat karya. Kemenaker menyiapkan anggaran Rp 500 miliar untuk tiga program, yakni program TKM, padat karya produktif dan padat karya infrastruktur.
Program JPS di Kemnaker terdiri dari program Tenaga Kerja Mandiri untuk penciptaan wirausaha, serta padat karya yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat agar terhindar atau mengurangi dampak dari pandemi. Program penciptaan wirausaha itu bertujuan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan dan berkelanjutan.
Sementara untuk Padat Karya merupakan program pemberdayaan masyarakat yang menyasar para penganggur dan setengah penganggur, melalui kegiatan pembangunan fasilitas umum dan sarana produktivitas masyarakat dengan melibatkan banyak tenaga kerja.
Per 2 Oktober 2020 telah menyalurkan bantuan program TKM kepada 1.985 kelompok wirausaha dengan melibatkan 39.700 orang dan 1.091 kelompok padat karya dengan melibatkan 21.820 orang pekerja. Dari data Kemnaker, pencairan dana bantuan BLT Subsidi Gaji sudah disalurkan sebanyak Rp27,96 triliun atau sekitar 93,96 persen dari total anggaran yang disediakan. (*)