oleh Eko B Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
EKONOMI Indonesia masuk resesi. Dua kali triwulan, dua dan tiga, terjadi kontraksi. Triwulan III Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mengumumkan ekonomi Indonesia kontraksi 3,49 persen. Bahkan, Infobank sendiri memperkirakan, skenario sampai dengan akhir tahun ini masih akan tumbuh negatif. Resesi sekitar minus 2 persen plus minus 1 persen.
Ekonomi Indonesia tinggal tergantung pada belanja pemerintah yang masuk skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Belanja ayo belanja, tapi kalau para menterinya seperti sekarang ini diragukan kemampuan untuk membantu Presiden Jokowi untuk belanja anggaran. Menteri bidang ekonomi banyak yang tidak punya kemampuan, dan miskin pengalaman dan ilmu bidang ekonomi.
” Kita memilih Jokowi, tapi kenapa dikasih menteri-menteri yang kualitasnya rendah, bahkan tidak memahami kalau sedang resesi, kebijakannya seperti auto rejected – masalah selesai dengan sendirinya, ” kata seorang ekonom dalam diskusi dengan Infobank.
Jujur, tantangan ke depan tidak ringan. Apalagi dengan susunan Tim Kabinet Indonesia Maju sekarang ini yang miskin pengalaman dan kompetensi, pertumbuhan ekonomi seperti auto rejected. Masalah selesai sendiri. Tidak ada langkah extraordinary seperti yang diinginkan Presiden. Semua berjalan seperti biasa.
Adanya Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional menunjukkan bahwa para menteri yang membidangi ekonomi seperti pajangan semata. Seperti tidak punya pekerjaan atau memang seperti yang dinilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak punya kemampuan. Sulit digeser karena “bohir” para partai masih menghendaki.
Pemerintah sudah menganggarkan biaya pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19 ini sebesar Rp695,2 triliun. Bujet terbesar untuk dibagi-bagi dalam program jaring pengaman sosial, seperti bantuan sosial (bansos), kartu prakerja, dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa.
Untuk pemulihan sektor UMKM, pemerintah menganggarkan Rp123,46 triliun dan bantuan kesehatan termasuk penanganan COVID-19 dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp87,55 triliun. Korporasi, di dalamnya BUMN, pun dianggarkan yaitu sebesar Rp53,57 triliun dan bantuan pemerintah daerah (pemda) sebesar Rp106,11 triliun serta sisanya insentif perpajakan.
Program itu diyakini akan mendorong daya beli masyarakat. Uang digelontorkan ke masyarakat. Cara itu tidak salah. Justru, itulah satu-satunya cara yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Soalnya, sisi ekspor dan investasi masih belum ada tanda-tanda ada kehidupan.
Langkah itu untuk menjaga kelangsungan produksi, menjaga aktivitas produksi, dan menjaga konsumsi masyakarat. Daya beli harus terus dijaga, demi keberlangsungan usaha sekaligus menjaga agar tidak merembet ke sektor keuangan.
Akibatnya, problem yang akut harus diselesaikan. Tak lain adalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sisi penerimaan turun Rp61,8 triliun dari sebelumnya Rp1.760,9 triliun. Atau, terjadi defisit 5,07% (Rp852,9 triliun). Lebih cilaka lagi, sisa belanja naik menjadi Rp2,738 triliun. Dengan demikian, defisit menjadi 6,34% (Rp1.039,2 triliun).
Sumber penerimaan negara dari pajak turun dan pembayar pajak tidak berkembang. Karena itu, mau tidak mau pemerintah harus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) atawa utang lagi. Problem utang yang terus membesar inilah yang angkanya terus membengkak. Suka tidak suka, utang ya harus terus membayar. Bayar utang dengan utang baru.
Menurut catatan The Finance Institute, berbagai upaya ditempuh pemerintah untuk memperbaiki fiskal. Periode 1998-2004 pemerintah melakukan konsolidasi dan membuat kebijakan penurunan utang. Lalu, 2005-2010 pemerintah melakukan reformasi anggaran dan reformasi birokrasi. Dan, 2010-2019 pemerintah membuat kejutan luar biasa dengan mencabut subsidi energi (reformasi subsidi energi) dan tax amnesty.
Hasilnya? Ternyata tantangan menjaga kesinambungan fiskal naik terus sejak 2010. Ada nafsu belanja, sementara rasio pertumbuhan pajak (-1,7%) dan rasio pajak per PDB terus turun (9,60%). Juga, pertumbuhan belanja menjadi rendah. Tahun 2019 hanya 4,4% dari sebelumnya 9,7% pada 2018.
Dengan demikian, dapat dikatakan, kualitas belanja untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi juga tidak kuat. Dan, lihat juga komposisi belanja modal terhadap belanja negara terus turun sejak 2010. Apalagi, belanja modal berhubungan kuat dengan produktivitas perekonomian.
Tak kalah seriusnya, defisit APBN meningkat sejak 2010. Sebenarnya sempat membaik di 2018, tapi akibat COVID-19 defisit APBN makin melebar dan itu pun sudah diamandemen untuk dimaafkan. Hal lain yang perlu diperhatikan, keseimbangan primer sebagai indikator kesinambungan fiskal juga tercatat defisit, terus naik sejak 2011. Akibatnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB terus naik sejak 2011.
Itulah kenapa Indonesia terjebak pada pertumbuhan 5% (2011-2019). Apalagi, incremental capital output ratio (ICOR) sebagai indikator efisiensi ekonomi juga naik dan total factor productivity (TFP) sebagai cerminan produktivitas turun. Hal ini berpengaruh pada PDB yang di kisaran 5% dan defisit transaksi berjalan yang belum bisa turun sejak 2012.
Itu tantangan yang tidak ringan. Jangan sampai beban berat ini hanya dialamatkan kepada Jokowi. Jadi, langkah reshuffle perlu diambil agar pada saat-saat mendatang tidak hanya mencetak utang baru yang akan diwariskan kepada pemerintah selanjutnya. Reshuffle itu perlu di tahun pertama pemerintahan Jokowi.
Setahun berlalu – pemerintahan Jokowi sangat kuat – perppu dengan mudah diterbitkan, tapi mengapa tidak sekalian reshuffle kabinet agar memberi sinyal baik bagi dunia usaha. Tantangan tidak ringan. Namun, dengan tim ekonomi sekarang yang miskin jam terbang dan miskin ekonom, rasanya sulit mendorong ekonomi melaju lebih cepat. Bahkan, kwalitasnya KW3. Tidak seperti awal-awal Orde Baru yang punya dream team ekonomi di bawah arsitek ekonomi Widjoyo Nitisastro yang mengembangkan ekonomi partisipatif.
Pak Jokowi, reshuffle please!