oleh Mikail Arkana
Penulis adalah orang biasa yang bercita-cita melihat Indonesia Adil dan Makmur
“JOKO Sembung Naik Ojek, Jujur Nggak Nyambung Jeck.” Itu perumpaan yang boleh jadi pas atas rencana Bank Indonesia (BI) yang segera mengeluarkan aturan terkait izin pengenaan biaya pada isi ulang uang elektronik. Kisaran biaya per top up sebesar Rp1.500-Rp2.000 seperti usul industri perbankan.
Mengapa kebijakan ini dikatakan tidak nyambung dan jelas tidak bervisi?
Bank Indonesia dalam berbagai kesempatan selalu bicara less cash society — masyarakat tanpa uang tunai. Nah, begitu mengurangi transaksi uang tunai malah BI mengenakan biaya isi ulang uang tunai. Berapa pun biayanya, jelas kebijakan pengenaan biaya ini tidak bervisi dan sangat tidak perlu jika Bank Indonesia benar benar akan mendorong pemakaian transaksi nontunai.
Menurut beberapa media online yang mengutip pernyataan pejabat BI, pengenaan biaya tidak akan memberatkan nasabah pemegang kartu uang elektronik multifungsi ini.
Lebih lanjut, hal ini karena biaya akan digunakan oleh bank untuk meningkatkan kualitas infrastruktur, seperti penyediaan sarana isi ulang yang lebih banyak sehingga mempermudah masyarakat. Bahkan, menurut penjelasan pejabat BI, pihaknya mempertimbangkan harga yang wajar. Biaya yang dikenakan setiap kali isi ulang tersebut akan digunakan untuk pendukung ketersediaan infrastruktur. Jadi isi ulang akan lebih mudah karena lebih banyak alatnya, demikian alasan utama BI mengenakan biaya isi ulang uang di kisaran Rp1.500 – Rp2.000 setiap kali isi ulang seperti usul industri. Dan, biaya isi ulang itu yang akan dijadikan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan keluar akhir bulan September ini. (Bersambung ke halaman berikutnya)