Jakarta–Rencana akuisisi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) oleh PT Pertamina (Persero) yang “dibungkus” program Holding BUMN Energi terus bergulir. PT Pertamina sendiri punya hasrat kuat agar rencana ini berhasil.
Bukan tanpa alasan. PT Pertamina (Persero) sejak 2014 lalu telah menandatangani kontrak impor gas alam cair (Liquid Natural Gas/LNG) sebesar 1,5 juta ton per tahun dari Cheniere Corpus Christi, perusahaan asal Amerika Serikat.
Pihak Pertamina sendiri berkeyakinan bahwa Indonesia bakal membutuhkan impor gas di 2019. Menurut perhitungan Pertamina, defisit kebutuhan gas di dalam negeri pada 2025 bakal mencapai 4.000 mmscfd, ini harus dipenuhi dari impor.
Sayang, impor ini tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Catatan saja, hingga akhir tahun 2015, panjang jaringan pipa gas yang dimiliki Pertamina lewat anak usahanya Pertagas hanya sepanjang 2.200 km.
Alih-alih menambah panjang pipanya, Pertamina malah memilih jalan pintas dengan mengakuisisi perusahaan gas pelat merah PT PGN yang total panjang pipanya telah mencapai 7.000 km lebih.
Akuisisi dengan cara biasa tentu tidak mungkin lantaran PGN adalah perusahaan terbuka yang tunduk pada aturan keterbukaan informasi dan transparansi. Holding Energi menjadi bungkus yang sempurna memuluskan rencana tersebut.
“Jadinya makanya dengan holding company itu otomatis PGN menjadi bagian dari Pertamina, ya otomatis Pertagas masuk ke PGN kan Pertamina,” kata Menteri BUMN Rini Soemarno ditemui di Jakarta, Kemarin.
Sebelumnya, Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal Basri memperingatkan, akuisisi PGN oleh Pertamina dalam kondisi seperti ini pun dianggap kurang tepat. Pasalnya, dalam hal tata kelola usaha di sektor gas yang dijalankan Pertamina dianggap masih belum baik.
Karena, sudah menjadi rahasia umum bahwa pengaruh trader gas tak bermodal infrastruktur di Industri gas nasional saat ini masih cukup kuat. Bahkan, Mantan Menteri ESDM Sudirman Said sendiri dibuat tidak berdaya oleh para trader gas tak bermodal ini.
Rencana Sudirman Said memberantas para trader gas tersebutpun kandas. Pasalnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi yang dikeluarkan Oktober 2015, langsung direvisi beberapa bulan kemudian.
Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2015 yang baru seumur jagung tersebut kemudian direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2016. Kondisi ini menjadi salah satu pertimbangan pemerintah masih menunda rencana pembentukan holding di sektor energi.
Ditemui terpisah, Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoli mengatakan, saat ini pemerintah masih mencermati berbagai aspek legal berkenaan pembentukan holding di sektor energi ini.
Lantaran kajian yang belum rampung rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait pembentukan holding energi ini pun belum disampaikan ke Presiden.
Menurutnya, Kemenkumham baru akan menandatangani rumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk dibawa ke Presiden setelah semua kajian tuntas. Sampai saat ini Kemenkumham belum memberikan persetujuan. “Belum, belum (disetujui),” kata Yasona beberapa waktu lalu. (*) Dwitya Putra
Editor: Paulus Yoga