Jakarta – Suhu panas ekstrem menyelimuti jalanan di Kota Phoenix, Arizona, di barat daya Amerika Serikat. Kondisi tersebut, sudah hampir terjadi sepanjang bulan Juli dengan suhu udara mencapai lebih dari 43 derajat celcius.
Pemerintah kota Phoenix pun akhirnya menerapkan langkah-langkah kreatif yang dapat membuat warga tetap merasa sejuk. Pasalnya, para tunawisma yang tinggal di kampung tenda di kota tersebut alias ‘The Zone’ menjadi kelompok paling rentan meregang nyawa di tengah sengatan panas ekstrem.
Direktur Urusan Keadilan dan Dampak Iklim Groundwork USA Jeremy Hoffman mengatakan, gelombang panas ekstrem ini secara tidak proporsional berbahaya bagi masyarakat kulit berwarna dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Menurutnya, hal ini disebabkan karena wilayah tersebut cenderung memiliki pohon yang lebih sedikit dan lebih banyak infrastruktur, seperti lapangan parkir dan jalan-jalan, yang sebenarnya menyerap lebih banyak energi matahari dan menaikkan suhu udara di lingkungan ini.
“Panas ekstrem yang terus-menerus bahkan bisa mengancam orang paling sehat, apabila mereka mengabaikan tanda-tanda peringatan yang diberikan tubuh mereka,” dikutip VOA Indonesia, Selasa (1/8).
Baca juga: Gelombang Panas Ekstrem Dunia Picu Kebakaran Hutan, Waspada Dampaknya ke Ekonomi RI
Kota Phoenix sendiri bukan satu-satunya daerah yang didera panas ekstrem tahun ini. Badan Cuaca Nasional AS melaporkan bahwa 60% orang yang tinggal di AS menerima peringatan panas atau banjir per akhir pekan lalu.
Sementara itu, badan cuaca India mengeluarkan peringatan hujan lebat hingga sangat lebat di berbagai daerah, di tengah musim hujan yang telah menurunkan curah hujan 2% lebih banyak tahun ini dari biasanya. Lebih dari 100 orang tewas akibat hujan yang mengakibatkan 1.600 hektar tanah tenggelam direndam banjir.
Ilmuwan mengatakan, musim hujan yang disusul dengan longsor dan banjir bandang menjadi lebih tidak menentu akibat perubahan iklim.
Kondisinya berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi di ibu kota Afghanistan. Gelombang panas gobal dan kekeringan parah telah memaksa penduduk Kabul melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan air dan membayar harga tinggi.
Salah satu warga mengatakan kepada AP bahwa ia menghabiskan separuh gajinya untuk membayar kontrakan dan separuhnya lagi untuk membeli air.
Ilmuwan iklim mengatakan, bulan Juli tahun ini merupakan bulan terpanas yang pernah tercatat sejauh ini. Itu artinya kita semua telah melalui minggu-minggu terpanas dalam catatan sejarah dan kemungkinan yang terpanas dalam 120.000 tahun terakhir.
Fenomena El Nino di Indonesia
Meski gelombang panas ektrem tidak terlalu berdampak di Tanah Air, namun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan adanya fenomena El Nino yang turut berpengaruh terhadap pola cuaca global, termasuk di Indonesia.
“El Nino masih akan bertahan sampai akhir tahun. Tapi dampaknya seiring dengan datangnya musim hujan makin berkurang. Sebab November sudah ada mulai hujan,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A Fachri Radjab, Senin.
El Nino sendiri fenomena cuaca yang terjadi akibat adanya peningkatan suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik. Suhu menjadi yang lebih hangat dari biasanya ini mengakibatkan pengurangan udara basah di wilayah sekitarnya yang pada akhirnya ikut menaikan suhu.
Baca juga: 3 Kebakaran Hutan Terparah di RI, Kerugian Ekonomi Capai Puluhan Triliun Rupiah
Berdasarkan analisis BMKG, pada 2023, fenomena itu telah mengakibatkan kemarau di 63 persen wilayah Indonesia, termasuk Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan.
“Diperkirakan musim kemarau ini akan lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya,” ucap Fachri.
Kendati fenomena El Nino diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun 2023. Namun sebagian wilayah Indonesia akan mulai memasuki musim hujan mulai Oktober mendatang.
Dampak a El Nino di Indonesia, atau di wilayah lain, biasanya dicirikan oleh kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun menyiapkan sejumlah langkah dalam mengantisipasinya. (*)
Editor: Galih Pratama