Jakarta – Jajaran direksi badan usaha milik daerah (BUMD) sektor keuangan di Indonesia harus mengencangkan ikat pinggang untuk menghadapi kondisi ekonomi yang diperkirakan masih mendung di tahun ini. Era suku bunga tinggi juga menjadi tantangan yang mesti dihadapi bank-bank milik pemerintah daerah (pemda) seperti bank pembangunan daerah (BPD) dan bank perkreditan rakyat (BPR) – yang dalam UU P2SK diubah penamaannya menjadi bank perekonomian rakyat (BPR), milik pemda.
Namun, para bankir bank-bank milik pemda, khususnya BPD, sepertinya punya tantangan tersendiri selain menjaga kinerja banknya tetap tumbuh di masa sulit. Bankir-bankir BPD mungkin tidak terlalu khawatir jika ekonomi Indonesia tak begitu bagus, toh buktinya saat ekonomi anjlok akibat Covid-19 kemarin, industri BPD bisa tetap tumbuh lebih tinggi dari industri perbankan nasional. Mungkin, direksi BPD lebih takut pada gejolak politik daripada gejolak krisis ekonomi.
Tantangan klise di industri BPD salah satunya adalah pelaksanaan good corporate governance (GCG). BPD yang mayoritas sahamnya dimiliki pemda rawan mendapatkan tekanan politik atau konflik kepentingan yang mengorbankan prinsip-prinsip GCG dalam tata kelola perusahaannya.
Di industri BPD, kepala daerah selaku pemegang saham pengendali (PSP), bisa saja melakukan intervensi terhadap keputusan-keputusan yang diambil direksi BPD. Di satu sisi, direksi BPD dituntut harus tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dengan profesional dan mengutamakan kebijakan demi kebaikan bank yang dipimpinnya.
Maka, tak heran jika ada direksi BPD yang diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, walau performa bank yang dipimpinnya bagus. Kinerja sepertinya bukan satu satunya tolok ukur pemegang saham untuk mengevaluasi direksi BPD.
Kerap kali pencopotan direksi BPD tidak dibarengi dengan pengganti yang kapabilitasnya mumpuni. Bahkan, ada kursi direktur utama BPD yang kosong bertahun-tahun karena – misalnya calon pengganti yang ditunjuk gagal dalam fit and proper test Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Di awal 2023, Gubernur Sumatra Utara (Sumut), Edy Rahmayadi, secara mengejutkan mencopot Direktur Utama Bank Sumut, Rahmat Fadillah Pohan. Rahmat dikabarkan melakukan kesalahan soal layanan mobile bankingBank Sumut yang diduga beroperasi tanpa izin dari Bank Indonesia (BI) dan OJK.
Namun, menurut sumber Infobank, pencopotan itu bukan lantaran soal teknis mobile banking, melainkan karena ketidakharmonisan antara Gubernur Sumut dan Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah. Rahmat dinilai lebih condong ke Wakil Gubernur Sumut sehingga langkah untuk mengganti posisi direktur utama pun diambil pemegang saham.
Padahal, Rahmat berhasil mencatatkan laba tertinggi untuk Bank Sumut sejak bank ini berdiri pada 1961. Selain itu, mantan bankir Bank Danamon ini berhasil membawa Bank Sumut melantai di pasar modal. “Agak aneh karena kinerjanya kinclong, maka dirut dicopot. Jika hanya karena kesalahan soal mobile banking, hanya dicari-cari saja,” ungkap sumber tersebut kepada Infobank, pada 5 Januari 2023.
Rahmat diangkat menjadi Direktur Utama Bank Sumut dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 10 September 2021, untuk periode 2021-2025. Selama sekitar satu tahun kepemimpinannya, Bank Sumut mencatatkan kinerja yang menawan. Per September 2022 total aset Bank Sumut tercatat Rp40,63 triliun, tumbuh 2,70% (year on year/yoy). Dari sisi aset, Bank Sumut merupakan BPD paling besar di luar Pulau Jawa dan BPD terbesar kelima di Indonesia.
Pemberhentian direksi yang kinerjanya baik di tengah masa tugasnya, apalagi baru saja melepas sahamnya ke publik, tentu menimbulkan pertanyaan masyarakat dan berisiko menurunkan kepercayaan investor terhadap banknya. Namun, kejadian yang menimpa Rahmat di Bank Sumut hanya salah satu contoh bahwa direksi BPD tak hanya dituntut untuk pintar, tapi juga harus pintar-pintar.
Sebelum Bank Sumut, sejumlah BPD juga melakukan perombakan direksi pada 2022. Tahun lalu menjadi tahun yang cukup panas bagi posisi direktur utama BPD. Berdasarkan pantauan Infobank, sepanjang 2022 setidaknya ada empat direktur utama BPD yang turun dari kursinya. Ada yang karena masa jabatannya sudah berakhir, tapi ada juga yang diselesaikan di tengah jalan oleh pemegang saham.
Pergantian direksi di tengah jalan seperti menjadi hal yang wajar di industri BPD. Ketika tampuk kepemimpinan di pemerintahan daerah berganti, kerap kali pucuk kepemimpinan di BPD pun ikut berubah. Pengurus BPD seolah-olah hanya mengikuti selera kepala daerahnya, bukan berdasarkan kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme bankirnya.
Selain permasalahan GCG, BPD menghadapi tantangan lain dari sisi regulasi. Sebagai BUMD, BPD harus tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017. Namun, sejumlah aturan dalam PP tersebut banyak yang bertubrukan dengan asas pengelolaan bank yang disyaratkan OJK.
Misalnya, soal kepemilikan saham pemda yang harus 51%. Sementara, dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 56/POJK 03/2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum disebutkan bahwa batas maksimum kepemilikan saham bank dari lembaga nonkeuangan maksimal 30%. Artinya, POJK bertentangan langsung dengan PP Nomor 54/2017. POJK bilang kepemilikan sampai dengan 30% untuk lembaga nonkeuangan (dalam hal ini pemda), sementara PP bilang harus 51%.
BPD juga menghadapi tantangan lain, yaitu permodalan. Per September 2022 masih ada 13 BPD yang modalnya di bawah Rp3 triliun – modal inti minimum yang ditentukan OJK. Ini tentu harus jadi perhatian seluruh pemangku kepentingan di industri BPD. Sudah saatnya BPD go public. Karena, selain mendapatkan tambahan modal, GCG BPD pun akan lebih terjaga. Tak hanya itu, BPD bermodal kecil juga bisa memilih opsi untuk berkonsolidasi atau bergabung ke dalam Kelompok Usaha Bank (KUB) bank yang lebih besar untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.
Kendati menghadapi berbagai tantangan, sejumlah BUMD keuangan mampu mencatatkan kinerja yang sangat baik. Per September 2022 industri BPD mencatat pertumbuhan aset Rp904,09 triliun atau tumbuh 7,61% secara tahunan. Kenaikan aset ini ditopang pertumbuhan kredit sebesar 8,73% menjadi Rp556,39 triliun. Di lain sisi, perolehan DPK tercatat naik 5,81% menjadi Rp712,81 triliun. Alhasil, industri BPD membukukan laba bersih Rp11,65 triliun, meningkat 11,70% dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, kinerja industri BPR cukup kinclong. Per September 2022 asetnya naik 8,18% menjadi Rp175,66 triliun. Peningkatan aset ini didorong fungsi intermediasi BPR yang juga cukup baik. Penyaluran kredit tumbuh 9,91% menjadi Rp126,05 triliun, sedangkan DPK tercatat tumbuh 8,79% menjadi Rp122,91 triliun.
Untuk mengapresiasi kerja keras para pelaku industri di BUMD keuangan, Biro Riset Infobank (birI) melakukan “Rating BUMD Keuangan Versi Infobank 2023” dan memberikan predikat “The Best” kepada sejumlah BUMD keuangan yang mencakup BPD, BPR, dan BPRS. Hasilnya, ada 16 BPD, 41 BPR, dan 9 BPRS yang kinerjanya sangat baik dan meraih predikat “The Best”. Siapa saja mereka? Baca laporan selengkapnya di Majalah Infobank No.538 Edisi Februari 2023. (*) Dicky F. Maulana